Koreri.com, Jayapura – Dua kampung di kabupaten Mamberamo Raya (Mambra) baik Burmeso dan Royali yang diketahui tidak akur atau terlibat konflik sejak 2014 lalu akhirnya berdamai.
Proses perdamaian tersebut dilakukan acara adat yaitu dengan menggelar ritual adat bakar batu serta mematahkan panah dan pemotongan tali busur.
Proses damai ini tak lepas dari peran AKBP. Dominggus Rumaropen, S.Sos, MM sejak menjabat sebagai Kapolres Mamberamo Raya, Agustus lalu.
Langkah yang di lakukan, dengan melakukan pendekatan secara persuasif, atau dengan kata lain pendekatan secara kekeluargaan.
Sikap kepemimpinan perwira Polri asal Pulau Biak ini, yang selalu mengedepankan asas kekeluargaan dan mengandalkan Tuhan dalam mengemban tugas dan tanggung jawabnya sejak menjabat Kapolsek Abepura hingga jabatan baru yang di percayakan negara yakni Kapolres Mambra.
Proses perdamaian dilakukan atas inisiatif Kapolres dengan mengambil langkah menggelar ritual adat bakar batu hingga mematahkan panah dan pemotongan tali busur.
“Upaya itu berhasil dan masyarakat dari kedua kampung, kembali beraktivitas seperti biasa dan tidak saling curiga,“ ungkap Rumaropen yang dikonfirmasi, Rabu (13/9).
Momen perdamaian tersebut juga dihadiri Bupati Mambra, anggota DPRD setempat, serta tokoh-tokoh masyarakat dan kedua suku yang bertikai.
“Dengan dilakukan pematahan panah dan makan bersama maka di situlah perdamaian kedua kampung terjadi. Dari ombak pecah sampai air menetes dari muara Mamberamo sampai batasan pegunungan, kita adalah saudara dan keluarga besar Mamberamo Raya Papua,” tandasnya.
Ketika disinggung soal kondisi kamtibmas pasca dirinya menjabat Kapolres Mambra, putra pasangan Yosua Rumaropen dan Constantina Yarangga ini enggan berkomentar banyak.
“Secara jujur saya tidak bisa menilai kinerja saya sendiri artinya tidak bisa menilai tugas-tugas kepolisian yang dilaksanakan tetapi para tokoh maupun masyarakat hingga Pemerintah daerah yang menilai dan merasakan bagaimana situasi yang lalu dan situasi saat ini,” ujarnya.
Intinya, lanjut mantan Kapolsek Abepura ini, pihaknya akan terus melakukan pola-pola pendekatan kekeluargaan atau persuasif kepada semua pihak, guna memberi rasa aman dan nyaman.
Ditambahkan, kebiasaan warga masyarakat berjalan membawa panah maupun parang di Mambra hanya merupakan suatu kebiasaan.
“Tapi secara perlahan kami terus berkoordinasi dengan Pemerintah daerah setempat untuk kita membangun komunikasi dan sosialisasi bagaimana hidup bermasyarakat serta beradaptasi dengan lingkungan karena daerah ini merupakan wilayah kabupaten sehingga semua orang datang dari luar untuk hidup bersama,” tukasnya.
Olehnya itu, diharapkan upaya-upaya pihaknya dalam rangka merubah cara pandang dan berpikir masyarakat dari pola hidup yang masih menggunakan panah ataupun membawa parang karena masih mencurigai bahwa ada musuh di sekitar mereka bisa berhasil di rubah.
HRZ