Koreri.com, Selaru – Elkana Amarduan, begitulah nama warga Desa Eliasa, Kecamatan Selaru, Kabupaten Kepulauan Tanimbar (KKT), Provinsi Maluku yang sehari-harinya menjaga menara suar wilayah itu.
Meski tak pernah di upah atas jerih payahnya, namun aktifitas itu ia lakoni dengan sukarela demi menjaga fasilitas negara yang berada tepat di perbatasan RI – Australia tersebut.
“Sudah 23 tahun saya jaga dua aset negara ini. Menara Suar dan tapal batas tanpa di gaji baik dari Pemerintah desa maupun pihak mana saja. Tapi semua ini saya lakukan dengan sukarela,” ungkapnya, saat ditemui, Kamis (3/5/2019).
Pria 62 tahun ini berkisah awalnya dia diberikan tanggung jawab oleh Kepala Dusun Eliasa (kala itu) untuk menjaga menara berukuran 35 meter dan diameter 6 itu.
Menara suar milik Kementerian Perhubungan RI itu dibangun pada 1996 dan rampung pada 1997.
Setahun kemudian, barulah lampu suar dinyalakan.
Namun, selama itu juga pagar menara tersebut digembok dan baru diresmikan oleh Panglima Komando Daerah Militer XVI/Pattimura Mayjen TNI. Agustadi Sasongko Purnomo pada 17 Agustus 2003 silam.
Di lain sisi, Pemerintah Desa Eliasa berencana akan menarik kunci suar tersebut dari pria yang disapa Eli ini dan menghargainya dengan upah menjual karcis.
Meski masih belum rela, ia berharap sedikit perhatian Pemerintah atas jerih lelahnya selama puluhan tahun.
Apalagi aset negara itu di bangun diatas lahan (dusun) miliknya.
“Insyaallah jika memang terjawab seperti itu. Tapi kalau dari Pemerintah baik dari Kabupaten sampai ke pusat tidak ada perhatian juga. Biarlah saya bertahan apa adanya. Sebab menara ini dibangun diatas petuanan dan di dalam dusun saya,” bebernya.
Meski Pemerintah belum memperhatikannya, Eli tetap menjaga dan merawat aset negara itu dan mencegahnya dari tangan-tangan jahil.
“Saya harus mengambil inisiatif, jangan sampai segelintir orang yang merencanakan kejahatan terhadap kedua aset ini, maka pasti saya yang dituduh. Saya merasa punya tanggung jawab sejak 1998 sampai hari ini. Karena kepercayaan yang diberikan dari Kepala Dusun untuk saya,” sambung dia.
Desa Eliasa, namanya identik dengan menara mercu suar.
Dari atas menara itu, warga bisa melihat siluet Kota Darwin (Australia) ketika air laut surut.
Saat di lokasi menara, terlihat beberapa gazebo telah di bangun.
Menurut Eli, itu dibangun oleh majelis setempat atas koordinasi bersama.
Hingga saat ini lahan milik Eli Amarduan belum pernah dilakukan pembebasan.
Kala itu, hanya diberikan uang sirih pinang sebanyak Rp50.000,- kepada tiga adik kakak yakni desa Lingat, Werain dan Eliasa.
Sejak dibangun sampai saat ini, tak ada perhatian dari Pemerintah.
“Hanya saya sendiri yang jaga dan amankan aset ini.” akuinya.
Sejauh ini, kata Eli, belum ada penarikan retribusi bagi pengunjung yang datang ke kawasan itu.
Informasi berbeda datang dari mantan Kepala Desa Eliasa, Rudi Amarduan yang mengaku bahwa kunci menara suar itu baru di kasih secara resmi kepada Eli Amarduan saat ia menjabat sebagai Kades.
“Waktu tahun 1998 itu desa Eliasa masih berstatus dusun. Sebelumnya pagar menara di gembok mati. Lalu kunci di kasih ke Pak Eli itu pada 2014 setelah rehab berat,” terangnya.
Sementara itu, Sekretaris Desa Eliasa Thomas Entamoi yang dikonfirmasi mengaku telah berencana akan menarik kunci dari Elkana demi memudahkan jika ada kunjungan.
“Maksud Pemerintah Desa mau ambil itu menjaga kemungkinan ada tamu seperti ini, kita tidak cari-cari dia (Bapak Eli, red) lagi,” sambungnya.
Sekdes mengaku, dalam beberapa kali pertemuan sudah diputuskan untuk ambil kunci dengan pertimbangan dibuat karcis dari desa lalu dipercayakan kepada Eli untuk menjual kepada para pengunjung.
“Nanti setiap bulan baru dipertanggung jawabkan kepada Pemerintah Desa,” tandasnya.
Rencananya, pemberlakuan karcis itu mulai berjalan awal Mei ini.
LSM