Surat undangan pembahasan AMDAL Freeport dalam beberapa hari ini ini tiba-tiba menjadi topik yang hangat diperbincangkan oleh kalangan masyarakat asli areal Freeport dan suku- suku di sekitar lokasi penambangan mineral yang dilakukan oleh PT Freeport Indonesia yang sudah mengeruk kekayaan alam di atas alam yang sejak nenek moyang mereka hidup.
AMDAL atau analisis mengenai dampak lingkungan sebagai sebuah instrumen yang menjadi tolak ukur bagi pelaku usaha agar tidak semena-mena terhadap lingkungan sekitar sudah ada di Indonesia.
Namun baru pertama kalinya perusahaan ini melakukan konsultasi publik semenjak perusahaan ini masuk dan beroperasi tahun 1967 dengan cara yang ilegal.
Freeport Indonesia masuk tanpa ijin kepada siapapun untuk mengeruk kekayaan alam sebanyak-banyaknya. Mengakibatkan begitu banyak darah yang mengalir, ekosistem hutan dan sungai hingga lautan yang akhirnya rusak karena tailing. Namun masih tetap berpikir seolah-olah apa yang dilakukannya itu benar.
Dokumen AMDAL harusnya diadakan sebelum operasi perusahaan terjadi. Namun mengapa setelah 53 tahun Freeport beroperasi baru melakukan hal ini?
Sesuai aturan LH UU no 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan lingkungan hidup, harusnya AMDAL dibuat sebelum usaha dilakukan karena jika sebuah perusahaan tidak memiliki ijin lingkungan, ijin usaha dapat dicabut.
Sekarang menjadi pertanyaan, Freeport mau membuat AMDAL ini untuk usaha yang mana?
Yang kedua, apakah ada pemain baru sehingga harus ada AMDAL bagian ini?
Freeport harus terbuka untuk menjelaskan, tetapi jika tidak inilah fakta konspirasi kapitalis dan negara.
Pembahasan AMDAL Freeport di buat pada saat masyarakat belum bersatu.
Diduga PT FI membiarkan dualisme Lemasa, Timika lalu mereka sendiri mengesahkan satu pihak yang mereka dukung. Lalu meminta dia untuk tanda tangan dokumen AMDAL.
Menurut aturan wakil masyarakat yang ikut pembahasan AMDAL adalah diputuskan melalui musyawarah oleh masyarakat adat sendiri bukan ditentukan oleh perusahaan.
Dalam kasus Freeport ini, mestinya Freeport menunggu masyarakat adat menggelar musyawarah adat dulu agar organisasi adatnya satu Lemasa bukan dua, karena sekarang ada juga FPHS, ini kondisinya,
Jadi biarkan masyarakat solid dulu baru bicara AMDAL.
Menurut saya, Pemerintah Indonesia harus menggelar sesi khusus yang menghadirkan Freeport dan masyarakat sekitar tambang yang disebut pemilik hak adat untuk bicara berbagai hal terkait Freeport di Papua.
Salam
John NR Gobai
Sekretaris II Dewan Adat Papua