as
as
Opini  

OAP Harusnya Hindari Tradisi “The Duck Policy Reaction”

WhatsApp Image 2021 09 05 at 13.34.28
Tokoh Masyarakat Biak Timotius Kbarek.(Foto : KENN)

Oleh  : Timo Kbarek, Tokoh Intelektual Papua

Orang Asli Papua (OAP) seharunya menghindari tradisi “The Duck Policy Reaction”  yang menimbulkan reaksi “The Counteract Policy Reaction” sehingga menjurus pada politik DEVIDE ET IMPERA.

Tepatnya Selasa 23 Agustus 2022 dilantiknya 3 Penjabat kepala daerah tingkat kota dan kabupaten di wilayah pemerintahan Papua Barat yang ditetapkan oleh Mendagri Prof Dr Tito Karnavian dan dilantik oleh Pj Gubernur Papua Barat Drs Paulus Waterpauw, M.Si di Hotel Aston Niu Manokwari, banyak pihak akan menyaksikan langsung maupun tidak langsung pasti juga ada pihak yang PRO dan KONTRA!

Itu adalah bagian dari dinamika politik pemerintahan yang sering terjadi dalam kehidupan proses pembangunan yang dialami akhir-akhir ini, pasca gerakan reformasi thn 1998 di Indonesia, apalagi setelah adanya undang-undang Otsus di Tanah Papua dan perangkat regulasi lainnya.

Terkait hal di atas, saya berpandangan dari satu hal yaitu “mengapa sering dilakukan tradisi penjemputan pejabat yang sifatnya baik kultur maupun protokoler tata negara” dan tentu juga menyita biaya yang besar dan massa yang variatif.

Secara pribadi saya berpendapat bahwa aksi penjemputan bukanlah hal yang tabu bagi manusia, tetapi hal yang familias humanism, dalam aturan protokoler negara itu hal yang memiliki motivasi kepentingan umum.

Sekarang persoalannya, jika penjemputan tersebut dalam “konteks kepentingan etnologis”, tentu saja suku-suku di Tanah Papua akan memainkan peranan masing-masing  menurut nilai-nilai hukum adatnya tapi, motivasi substansi yang spesial itu apa sesungguhnya?

Ketiga penjabat yang dilantik hari ini tentu akan segera menuju daerah tugas masing-masing utk melakukan tugas khusus hingga Pilkada tahun 2024, termasuk juga Kota Sorong dan pasti akan disambut dalam aksi penjemputan massa menurut gaya di Tanah Papua.

Saya adalah seseorang yang paling sulit tertarik dalam acara-acara tradisional kultural yang berlogo insidental politis sering dipakai sebagai kendaraan politik untuk acara-acara penjemputan pejabat sipil.

Di Kota Sorong contoh, Bapak George Yarangga tentu akan dijemput/disambut khusus oleh warga ASN di Kantor Walikota Sorong tapi tidak ketinggalan warga masyarakat Suku Biak bahkan mungkin juga ada pihak-pihak lain yang hadir dalam aksi penjemputan tersebut.

Lalu, bagaimana sikap massa pendemo penolakan terhadap Pak George Yarangga beberapa waktu lalu, apakah mereka akan sportif menerima kenyataan tersebut?

Atau apakah nanti mereka  tidak melakukan reaksi politik yang kontradiktif ketika beliau bertugas resmi, terutama dalam kebijakan politik pemerintahan di saat Pilkada walikota Sorong tahun 2024.

Menurut saya hari ini, suku Biak khususnya akan bersukacita secara politis dan akan terjadi pendekatan komunikasi dengan Pj Wali Kota Sorong sebagai sesama Suku Biak akan terjadi juga diskusi informal dan formal, termasuk juga masukan-masukan provokatif plus-minus.

Pertanyaannya, sampai kapan kah dukungan moril bahkan partisipasi politik berlangsung apakah akan serius terus menopang ataukah akan kecewa, karena beliau (GY) mendapat stigma “kacang lupa kulit”? Apakah benar dan serius masyarakat Suku Biak akan trus menopang beliau hingga akhir tahun 2024?

Sebaliknya, apakah benar juga dan serius kelompok massa yang menolak kehadirannya di Kota Sorong itu akan trus bertahan dengan sikap kontra politiknya justru semua akan berwujud kuda zebra dalam berpolitik?

Ya, hanya Sang Pencipta dan hati sanubari masing-masing orang yang tahu stamina politiknya.

Hanya menurut saya tradisi politik praktis dalam hal aksi-aksi penjemputan pejabat, baik bagi pejabat periodik maupun penjabat caretaker sering menimbulkan kontra dan tandingan yang tidak sehat yang pada ujung-ujungnya  terjadi perpecahan dan kebencian serta dendam politik “the period bomb” di antra sesama Orang Asli Papua di tanahnya sendiri.

Itulah, gejalah dan indikasi politik yang berdampak dalam proses pembangunan selama ini, mungkin, hari ini kata orang bahwa suku Biak tentu bersuka cita dan bahagia ketika Bapak George Yarangga resmi memimpin Kota Sorong, tapi setelah tahun 2024 apakah masih riang gembira?

Jika walikota Sorong nanti dari suku lain, mudah-mudahan kita yang notabene Suku Biak terus eksis percaya diri dan optimistik hidup sebagai bagian yang legal dari Penduduk Bumi Kota Sorong, sekalipun nanti walikotanya bukan Suku Biak.

as