Koreri.com, Manokwari – Papua Barat sebagaimana rilis indeks kerawanan yang dirilis Bawaslu RI masuk dalam 6 provinsi tertinggi di Indonesia yang rawan konflik khususnya berkaitan dengan isu suku, ras, agama dan antar golongan.
Dari pengklasifikasian itu, Papua Barat berada di urutan 4 dengan skor 14,81 setelah DKI Jakarta dengan skor 100, Maluku Utara 77,16, DIY 14,81, serta Jawa Barat 12,35 dan Kalimantan Barat 7,41.
Kerawanan tersebut diklasifikasi yang pertama adalah terkait kekerasan dengan berbasis sara. Kedua, terkait dengan adanya penolakan karena latar belakang agama dan etnis.
Selanjutnya, ketiga adalah kampanye di tempat umum yang cenderung menggunakan isu-isu berbau agama, etnis dan lainnya.
Dan yang terakhir, soal isu di media sosial yang cenderung kemudian tidak bisa terkontrol yang selalu menggedepankan narasi-narasi yang berbau provokatif, etnis dan seterusnya.
Ketua Bawaslu Papua Barat Elias Idie, ST kemudian memberi penjelasan kaitannya dengan indeks kerawanan dimaksud.
Pertama, kata dia, soal isu sara apakah masuk dalam kepentingan elektoral atau tidak?
“Dalam hal ini apakah ini kejadian-kejadian yang memang menyinggung soal identitas yang cenderung kemudian ada diskusi-diskusi soal dari sisi orang Papua, dari afirmasi? Lalu disisi yang lain UU menghendaki bukan itu,” kata dia di Manokwari, Kamis (26/10/2023).
“Siapapun warga negara yang memang memenuhi syarat maka silahkan mencalonkan diri. Tapi publik kita ini kan belum selesai dalam wilayah-wilayah itu. Meskipun untuk kepentingan elektoral memang kita tidak melihat kanalisasinya terlalu besar soal itu,” sambungnya.
Hanya saja, kata Elias, hal itu kemudian menjadi kekuatiran bahwa biasanya di Papua ini isu-isu ataupun dari dimensi indeks kerawanan Pemilu itu lebih kepada hal-hal yang berkaitan dengan kondisi sosial dan politik atau keamanan yang cenderung meninggi.
“Tapi ini ternyata isu-isu sara ini menempatkan Papua Barat di dalam peringkat itu. Maka ini sesuatu di luar bayangan kita padahal kita khususnya Tanah Papua selalu pada wilayah dimensi konteks keamanan, sosial dan politik, itu yang cenderung tinggi. Tetapi di rilis itu menempatkan khusus lagi di Papua Barat,” bebernya.
Karena itu, bagi Bawaslu ini menjadi semacam mitigasi atau alarm bahwa kemungkinan-kemungkinan isu-isu itu dalam kepentingan-kepentingan elektoral bisa saja terjadi di 2024.
“Makanya upaya Bawaslu secara internal kita semaksimal mungkin harus banyak melakukan kerjasama dengan stakeholder atau para pihak,” kata Elias.
Lanjut dia, Bawaslu juga tidak bisa menutup mata kaitannya dengan ruang-ruang agama dimana sekarang ini juga tidak ada yang bisa memastikan 100 persen Itu netral. Tapi terkadang juga punya irisan-irisan.
“Ruang-ruang ini yang kemudian dikanalisasi atau dipakai untuk memainkan isu-isu yang berbasis suku, agama, ras dan seterusnya,” sambung Elias.
Diakui pula, soal politisasi ini yang cenderung berhubungan isu-isu sara bahwa ternyata memang Papua Barat berada di atas Jawa Barat. Padahal refleksi atas peristiwa atau isu ini kan cenderung pada daerah-daerah seperti Sumatera, Jawa terutama Jawa Barat juga DKI Jakarta.
“Kalau DKI Jakarta menempati posisi itu karena memang real historis kejadian itu ada soal politisasi yang berbasis isu-isu agama, etnis dan seterusnya tetapi menariknya Papua Barat malah lebih tinggi dari Jawa Barat,” herannya.
Olehnya itu, bagi dia, kegiatan yang dilakukan oleh teman-teman di Manokwari ini adalah bagian dari upaya juga untuk sama-sama mendorong dan mengingatkan kepada stakeholder dan kepada masyarakat umum, peserta pemilu dan kritik kepada penyelenggara bahwa selama ini ada ruang-ruang semacam itu yang bisa memicu konflik.
“Terkadang juga peserta pemilu bukan soal dia kalah tapi dia merasa hasil itu karena penyelenggara berpihak atau cenderung kerja tidak netral. Itu terkadang juga menjadi sumbu. Bukan soal dia tidak terima kalah tetapi karena merasa lembaga yang diberikan mandat oleh UU, dipercaya oleh publik ternyata bekerja cenderung berpihak,” bebernya lagi.
Karena itu, telah menjadi komitmen secara kelembagaan di Bawaslu bahwa jika ada perilaku penyelenggara yang mencoba-coba untuk kemudian melakukan aktivitas ganda atau double peran dengan peserta pemilu karena ada kepentingan, Elias berharap masyarakat bisa melaporkan itu.
“Ada bukti saja, itu kita kasih selesai ! Kalau saya, bahwa siapapun itu penyelenggara tetapi kerja jujur kita akan berikan apresiasi. Tapi kalau kerja karena ada kepentingan tertentu maka di situlah bagian dari mengkhianati perintah regulasi juga menghianati kepercayaan publik,” tegasnya.
Elias mengingatkan bahwa sebenarnya kehadiran Bawaslu juga karena adanya kekuatiran bahwa Pemilu yang dilakukan banyak kecurangan.
“Makanya kepercayaan itu yang harus kita jaga betul di Bawaslu Papua Barat,” pungkasnya.
KENN