Koreri.com, Timika – Wacana Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati harus Orang Asli Papua (OAP) terus menggema di kalangan masyarakat Papua tanpa dasar hukum dan analisa politik Pemilukada.
Ada banyak tanggapan sesat di kalangan masyarat soal pencalonan Bapak Johannes Rettob sebagai Calon Bupati berpasangan dengan Emanuel Kemong sebagai Calon Wakil Bupati Mimika Periode 2024-2029 yang konon kata mereka JR adalah Non OAP jadi tidak akan bisa dan tidak bisa menang kata mereka, seakan-akan mereka mengetahui segalanya.
Ada pula menggunakan istilah Hak Kesulungan OAP dan seterusnya.
Pada suatu kesempatan, saya berdiskusi dengan masyarakat yang berbeda di sejumlah tempat pula lalu hasilnya saya pastikan banyak masyarakat kita yang telah mengonsumsi/termakan isu tak benar. Sehingga catatan ini sebagai edukasi publik dengan cara yang cerdas untuk dan demi kepentingan bersama bagi rakyat Mimika di Bumi Amungsa yang kami cintai ini.
Pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) di Tanah Papua tidak menggunakan fasilitas/instrumen hukum khusus sebagai lex specialis derogate legi generali (peraturan khusus yang mengesampingkan peraturan umum) dari Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Papua tak dijadikan dasar dan aturan hukum pelaksanaan Pemilukada khusunya Bupati dan Wakil Bupati serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota kecuali Gubernur dan Wakil Gubernur.
Dasar hukum Pemilukada tahun 2024 secara serentak di seluruh Indonesia tentunya karena Amanah UUD 1945 dan perundang-undangan yang kaitannya dengan Pemilihan Umum.
Penulis menelusuri dasar hukum Pemilu tahun 2024 dan tentu ada dua pokok dasar pelaksanaan Pemilukada yaitu UU Nomor 7 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Perubahan ini terjadi didasarkan pada adanya impikasi dari pemekaran provinsi-provinsi di Papua sebagaimana ditegaskan pada poin (a) bagian pertimbangan perubahan dimaksud.
Penetapan pengganti peraturan pemerintah dengan UU Nomor 7 Tahun 2023 tentang Pemiihan Umum tidak ada satu pasal, ayat dan/atau poin yang menentukan pemilihan Kepala Daerah maupun Wakil Kepala Daerah terutama Bupati – Wakil Bupati dan Wali Kota – Wakil Wali Kota harus OAP.
Dasar pelaksanaan Pemilu kedua adalah Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi UU. Termasuk UU Nomor 6 Tahun 2020 tentang penetapan pemerintah pengganti UU Nomor 2 Tahun 2020 tentang perubahan ketiga atas UU Nomor 1 Tahun 2015 dan seterusnya juga tidak memberikan dasar hukum kaitanya dengan Pemilu kepala daerah di Papua.
Selanjutnya kaitannya dengan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 2 Tahun 2024 tentang tahapan dan jadwal pelaksanaan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota tahun 2024 tidak ada pasal, ayat dan poin tertentu yang diberikan diskresi policy tentang Pemilukada di tanah Papua terutama Bupati dan Wakil Bupati, Wali Kota dan Wakil Wali Kota adalah OAP.
Jadi hipotesa yang benar adalah tidak ada dasar hukum Pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah di Tanah Papua adalah OAP dan/atau kesimpulan bahwa tidak ada dasar hukum yang memberikan amanah OAP mutlak jadi Bupati dan Wakil Bupati dan seterusnya di Tanah Papua.
Lalu masyarakat menjawab, “Dasar hukumnya Otonomi Khusus Pak! Papua ini Otonomi Khusus jadi pendatang/orang dari luar tidak bisa jadi Bupati dan Wakil Bupati di Papua dan seterusnya”.
Penulis memberikan penjelasan kongkrit pendapat hukum berdasarkan UU Nomor 2 Tahun 2021 perubahan kedua atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua sehingga Masyarakat Mimika mengetahuinya, memahaminya dan menjelaskannya kepada yang lain.
Mestinya kita generasi yang sudah belajar di masa pelaksanaan Otsus Papua memberikan pemahaman kepada masyarakat yang belum mengerti.
Sehingga saya menilai banyak anak muda yang ada di tim pemenangan calon lain melakukan kampanye/membangun isu yang tidak benar. “Kasihan Papua Tipu Papua, ujung-ujungnya jadi korban sendiri !”
Ini pendapat hukum atas kebijakan Otonomisasi Papua berdasarkan UU Nomor 2 tahun 2021 perubahan kedua atas UU Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua.
Pertama, Pasal 28 kaitannya dengan partai politik itu problemnya sudah dirasakan oleh kawan-kawan kami yang memperjuangkan pembentukan partai politik lokal seperti Aceh. Padahal tafsiran hukum seperti Pasal 28 ayat 1 menyatakan “Penduduk Provinsi Papua dapat membentuk partai politik.”
Tafsiran ayat 1 itu abstrak dan kabur karena tidak ada frasa “lokal”. Kecuali Penduduk provinsi Papua berhak membentuk partai politik “Lokal” barulah sudah pasti dan sudah sejak lama Papua memiliki partai politik lokal sama halnya dengan Aceh.
Penulis sampaikan kepada semua bahwa Pasal 28 ini kaitannya dengan partai politik yang nantinya Pemilu merupakan hasil yang dijembatani partai politik. Pasal 3 dan pasal 4 pada perubahan kedua berdasarkan UU nomor 2 tahun 2021 tetap ada dan pasal 1 dan 2 dihapus dan tidak berlaku.
Kenapa dan mengapa kemudian MRP dan Asosiasi MRP Papua kali ini mendorong perlu adanya kebijakan hukum sebagai aturan pelaksanaan demi implementasi secara penuh pelaksanaan Otonomi Khusus Papua?
Hal ini salah satu cacatan yang memberikan kekuatan kepada MRP adalah rekrutmen politik oleh partai politik di Provinsi Papua dilakukan dengan memprioritaskan masyarakat asli Papua.
Partai politik wajib meminta pertimbangan kepada MRP dalam hal seleksi dan rekrutmen politik partainya masing-masing. Ini ketegasan dari Pasal 3 dan 4 UU sebelumnya maupun UU Otsus yang baru.
Di lain sisi secara politik hukum maupun sosiologi hukum ternyata UU Otsus Papua hanyalah kebijakan poitik hukum belaka guna membendung gerakan tuntutan kemerdekaan Papua setelah reformasi dan amandemen UUD 1945 secara berturut-turut terjadi di Indonesia pada tahun 1989-2000.
Saya secara pribadi dan dengan kemampuan yang Tuhan beri akan terus melakukan berbagai hal dengan kajian-kajian terhadap upaya pelaksanaan Otonomi Khusus Papua sama seperti Otonomi Khusus Aceh.
Namun kali ini kaitannya dengan Pemilukada di Papua dan khususnya di Kabupaten Mimika tahun 2024 tidak bisa saya membangun isu yang tidak ada dasar hukumnya. Nanti dapat merendahkan derajat kita sebagai orang-orang yang sudah sekolah dan pintar, itukan logikanya.
Kedua, apakah UU Otonomi Khusus mengamanatkan syarat dan mekanisme Pemilihan Kepala Daerah di Papua? Jawaban saya tidak untuk Bupati dan Wakil Bupati, kecuali calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur disyaratkan berasal dari unsur OAP dengan dasar hukum Perdasus Nomor 6 Tahun 2011 tentang Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur Papua.
Dan hingga wacana MRP muncul dan sampai hari ini tepat satu bulan menjelang pendaftaran calon kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak ada ketentuan khusus Bupati dan Wakil Bupati harus OAP.
Sebagaimana hal yang sama disampaikan pula oleh KPUD Mimika bahwa sejauh ini, belum ada aturan calon Bupati-Wakil Bupati harus orang asli Papua berdasarkan UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua yang telah diubah menjadi Undang-undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2021.
Tulisan ini diharapkan bagi Masyarakat umum agar hati – hati dengan istilah Bupati dan Wakil Bupati harus OAP.
Penulis tahu berbagai pihak menginginkan itu, tetapi apa yang saya paparkan ini suatu kebenaran yang tak dapat terbantahkan oleh argument kosong yang diagung-agungkan sebagai tawaran politik yang provokatif.
Diharapkan pula agar rakyat Papua dan rakyat Nusantara di Kabupaten Mimika bersama-sama berdampingan satu sama lainnya menentukan siapa Bupati Mimika mendatang yang memahami heterogenitas suku bangsa di Mimika.
Ketiga, lalu ada pernyataan “MRP sudah berjuag pak, hasilnya Bupati dan Wakil Bupati harus OAP”.
Saya menjelaskan ini agar dapat memahami secara baik.
1. Bahwa MRP dan Asosiasi MRP bukan merupakan satu instrument penyelenggaran bersama KPU dan Bawaslu. MRP tidak diberikan kewengan atas kebijakan otonomisasi Papua guna mengubah-ubah, mengatur-atur, intevensi lembaga pembuat hukum atau DPR RI. MRP berdasarkan tugas dan kewenangannya adalah hanya memberikan pertimbangan, rekomendasi dan sejenisnya setelah memperhatikan penyaluran aspirasi rakyat Papua;
2. Kewenangan MRP kaitanya dengan perlindungan hak-hak dasar OAP, persoalan martabat, persoalan hak ulayat, persoalan hak-hak perempuan, persoalan hak-hak atas bebas dari segala bentuk diskriminasi dan marginalisasi sebagaimana yang juga merupakan amanah konstitusi UUD 1945;
3. Persoalan di Pasal 28 ayat 2 dan 4 adalah bagian dari tanggung jawab MRP dalam upaya memproteksi hak-hak OAP sehingga secara UU memberikan kewenangan untuk memberikan pertimbangan dan rekomendasi kepada partai politik dan seterusnya untuk memproteksi hak politik. Jadi upaya apapun yang kaitannya dengan ranah perubahan, penambahan, pembentukan dan lain-lain suatu aturan khusus untuk di Papua bukan kewenangan Majelis Rakyat Papua;
4. Aspirasi yang diperjuangkan oleh asosiasi MRP Papua kepada pemerintah atau serahkan secara langusng kepada Presiden RI Bapak Joko Widodo adalah bagian dari perjuangan MRP menyampaikan aspirasi rakyat Papua kepada Pemerintah pusat guna dipelajari, ditelaah, dipahami dan dibahas ulang antara Pemerintah dan DPR RI untk kemudian memberikan keputusan baik dalam bentuk PP, Keppres atau apapun itu keinginan dan kemauannya Jakarta mau apa? Bahkan bisa saja semua aspirasi MRP bertentangan dengan UUD 1945 dan Perundang-undangan yang berlaku.
5. Pada beberapa bulan usai tulisan saya yang pernah dimuat pada beberapa media setelah pemilihan legislative adalah saya meminta MRP menggunakan Pasal 28 ayat 3 dan 4 UU Otsus Papua untuk melakukan judicial review di Mahkamah Konstitusi guna mendapatkan keputusan apakah diterima atau di tolak atau di terima sebagaimana halnya dengan pemilihan Sistem Noken yang dasar hukumnya adalah putusan MK. Jika MRP meminta ke Presiden untuk membuat suatu aturan khusus sebagai aturan pelaksanaan Pemilu di Papua, maka kembali lagi kepada Jakarta, apakah keberpihakan khusus yang dimaknai Jakarta melalui Otonomi Khusus hanyalah sebuah slogan belaka.
Kesimpulan singkat atas Pilkada Mimika 2024
1. Saya menulis artikel ini sifatnya edukatif agar kita tidak baku tipu dan membodohi rakyat kita sendiri dengan isu-isu yang sudah dijelaskan diatas;
2. Saya menyadari bahwa isu apapun yang dipakai oleg pihak lawan politik adalah hal biasa dan murahan saja, tetapi demi mencerdasakan rakyat dalam menghadapi tantangan menentukan masa depan 5 tahun pemerintahan, nurani rakyat tidak boleh diganggu dan tidak boleh diedit-edit dengan bahasa yang sensitif seperti OAP dan non AOP dan seterusnya.
3. Bahwa Bapak Johannes Rettob, S.Sos., M.M, memiliki Hak Konstituional untuk memilih dan dipilih sebagai Bupati Mimika periode 2024-2029;
4. Tidak ada suatu aturan hukum apapun yang melarang, membatasi dan menolak Johannes Rettob berpasangan dengan Emanuel Kemong sebagai Calon Bupati dan Wakil Bupati Mimika periode 2024-2029;
5. Jika benar dan pemerintah pusat memberikan kebijakan khusus tentang syarat Pemilu kepala daerah di Papua, maka secara otomatis berlaku Pemilu di tahun 2029.
(*)