as
as

Kasus Penyerobotan Tanah Kampung Bate 100 Ha Kembali Disorot, Tokoh Adat Angkat Bicara

Atenasius Bate
Mantan Kepala Kampung Bibiosi Atenasius Bate saat jumpa pers di Kota Jayapura, Papua, Senin (12/8/2024) / Foto : Ist

Koreri.com, Jayapura – Kasus penyerobotan tanah seluas 100 hektare yang diduga dilakukan anak-anak almarhum Rahman Baco di Kampung Bate, Distrik Arso, Kabupaten Keerom, Papua masih terus menjadi sorotan berbagai kalangan.

Mantan Kepala Kampung Bibiosi Atenasius Bate mengatakan pihaknya terus mencari keadilan atas kasus penyerobotan tanah seluas 100 hektar yang dilakukan anak-anak alm. Rahman Baco terhadap masyarakat Kampung Bate.

“Jadi, kasus penyerobotan tanah ini bermula di 2006 ketika almarhum Rahman Baco mendapatkan sertifikat yang diduga belum ada tanahnya alias sertifikat bodong,” kata Atenasius Bate didampingi Ondoafi Bibiosi, Lukas Bage, Ketua Dewan Adat Distrik Skamto, Didimus Werera dan Pengacara Festus Ngoranmele saat jumpa pers di Kota Jayapura, Papua, Senin (12/8/2024).

Kemudian, kata Aten, Rahman Baco mencarikan tanah (Sesuai dengan surat keterangan tertulis dari Kanwil Pertanahan Provinsi Papua tanggal 4 Juli 2021 yang mengatakan 14 sertifikat atas nama Rahamn Baco Cs bukan produksi pertanahan dan tidak pernah dilakukan pengukuran atas tanah tersebut).

Seiring berjalannya waktu sekitar bulan Juni tahun 2010, Rahman Baco bersepakat secara lisan dengan masyarakat Dusun Bate yang adalah masyarakat asli Keerom untuk memasang listrik di rumah-rumah warga.

Kala itu Dusun Bate sama sekali belum ada penerangan dan masih gelap gulita.
“Dengan imbalan lima hektar tanah. Lima hektar tanah bukan 100 hektar. Karena Alm RB menawarkan kalau dirinya ada mesin diesel atau Listrik yang bisa dibantu. Yang penting masyarakat siap beri tanah 5 hektar dan dia akan memasang listrik,” ujarnya.

Selanjutnya Rahman Baco membuat daftar nama masyarakat yang mau dipasangkan Listrik dan Masyarakat diminta untuk tanda tangan, bermeterai. Selanjutnya masyarakat tanda tangan.

Dikemudian hari, ternyata tanda tangan masyarakat yang bermeterai itu disalah gunakan.

“Daftar nama tersebut malah direkayasa dengan diubah redaksinya menjadi Penyerahan atau pelepasan tanah 100 Hektar kepada RB sebagai pembayaran jaringan Listrik PLN,”ungkapnya.

Di bulan Desember 2010, Rahman Baco kemudian memasang jaringan listrik PLN yang ditarik dari Arso 10 tanpa sepengetahuan dan ijin dari PLN.

Padahal sebelumnya sesuai pembicaraan dengan masyarakat RB berjanji akan memasang genset untuk penerangan.

Bulan February 2011, PLN baru mengetahui kalau ada jaringan Listrik dari Arso 10 ke Dusun Bate.

“PLN marah kepada Masyarakat dan Masyarakat mengatakan bahwa Rahman Baco yang memasang dan masyarakat Dusun Bate membayarnya dengan kompensasi membayar tanah seluas 5 hektar,” jelasnya.

Selanjutnya Alm Rahman Baco dan Kepala Kampung dipanggil PLN untuk mempertanyakan perihal ini.

Selang beberapa hari kemudian petugas PLN datang dan menyampaikan ke Masyarakat bahwa RB telah dipanggil dan ditegur bahwa apa yang telah diperbuatnya adalah salah, karena listrik adalah milik negara.

“Atas teguran itu RB menerimanya,” imbuhnya.

Selanjutnya pada bulan Maret 2011 pihak PLN dan masyarakat bersepakat untuk PLN yang menyambung listrik dan masyarakat diminta oleh PLN untuk membayar sebesar Rp. 50 juta dan langsung disetujui.

“PLN membongkar tiang – tiang Listrik/jaringan Listrik yang dipasang oleh RB dari Arso 10 ke Dusun Bate.

Tidak ada reaksi dari Rahman Baco dengan demikian kesepakatan lisan kami dari masyarakat dengan RB menjadi batal,” katanya.

Masalah rerjadi saat anak-anak alm RB muncul di tahun 2016 saat RB meninggal dunia di Makassar. Dari tahun 2011 – 2016 tidak ada reaksi dari Rahman Baco baik kepada PLN maupun ke masyarakat.

“Tetapi di pertengahan tahun 2017, anak – anak Alm RB datang menyerobot tanah masyarakat Dusun Bate dengan memperlihatkan antara lain 14 sertifikat yang terbit di 2006 dengan alamat sertifikat di Kampung Arso Kota,” ungkapnya.

Didimus Werari
Ketua Dewan Adat Distrik Skanto Didimus Werari / Foto : Ist

Tanah milik suku Bate dipalang oleh oknum anggota Polres Keerom yang ternyata suami dari anak almarhum Rahman Baco, yakni LS.

Tak hanya itu masyarakat juga kaget karena yang diklaim sebesar 100 hektar.
Tak hanya itu saja anak – anak Alm Rahman Baco juga memperlihatkan penyerahan pelepasan tanah dari masyarakat Bate seluas 100 hektar.

“Saya ini saksi hidup dan kenal dengan almarhum dan masyarakat Dusun Bate tidak pernah melepaskan tanah kepada RB seluas 100 hektar. Tetapi pernah menunjukkan 5 hektar tanah sebagai kesepakatan lisan atas pemasangan jaringan Listrik pribadi. Namun batal, karena almarhum tidak memasang jaringan listrik di rumah warga. Malah mencurinya dari kabel PLN yang ditarik dari Arso 10,” bebernya.

Lebih tak masuk akal lagi, keluarga Alm. Rahman Baco menagihkan pemasangan jaringan listrik yang oleh PLN dinyatakan ilegal tersebut senilai Rp715 juta kepada masyarakat Bibiosi.

“Iya mereka bikin RAB, saya juga bingung, mereka ambil tanah 100 hektar atas dasar fee pemasangan listrik senilai 715 juta, padahal itu dinyatakan ilegal oleh PLN,” ujarnya dengan nada heran.

RAB pemasangan Listrik tahun 2010 senilai Rp715 juta yang digunakan dengan memotong dana kampung Kwimi pekerjaan dan tanpa SPK.

Sesuai keterangan tertulis dari PLN tanggal 13 April 2021 mengatakan PT PLN tidak ada sangkut paut dengan RB dalam hal penyediaan tenaga listrik di Kampung Bibiosi/Bate.

Karena PLN selaku pemilik listrik yang membongkar jaringan listrik yang dipasang oleh RB tanpa ijin dari Perusahaan listrik negara tersebut.

“Maka kerugian yang dialami RB menjadi urusan PLN dan RB, bukan kami Masyarakat Bate,” jelas Aten Bate.

Mantan Kepala Kampung ini menduga Rahman Baco mencarikan tanah dan sertifikat yang sudah dimiliki.

Namun belum ada tanahnya, sehingga RB mencari akal – akalan dengan menipu warga Dusun Bate untuk pemasangan Listrik pribadi.

“Padahal Rahman Baco mencuri listrik PLN, sehingga PLN marah dan memutus jaringan listrik yang dipasang oleh RB,”paparnya.

Masyarakat juga sudah melakukan pengecekan ke pihak kantor Pertanahan setempat dan menemukan kejanggalan karena 14 sertifikat yang sudah dipecah tersebut dikeluarkan pada tahun 2006, sementara kesepakatan yang dilakukan antara Atenius Bate dan Alm Rahman Baco terjadi pada tahun 2010.

Pelepasan Tanah Harus Lewat Para-para Adat

Senada dengan itu, Ketua Dewan Adat Distrik Skanto Didimus Werari ikut menyuarakan hal ini.

Menurutnya soal ulayat Suku Bate ini membentang hingga ke Distrik Skanto, sehingga tidak mungkin terjadi pengambil alihan tanpa berbicara dengan Ondoafi dan Kepala Suku.

“Ini luar biasa masyarakat saya kena tipu dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab, mereka harusnya tahu bahwa di wilayah ini ada pemimpin adat, ada ondoafi juga kepala suku, harus duduk di para-para adat untuk bicara soal tanah karena itu aset adat,” tegas Didimus.

Lanjutnya rekayasa tanda-tangan yang dipakai seolah-olah ada pengambil alihan itu tidak bisa didiamkan.

Dirinya juga menegaskan bahwa seluruh tanah yang diserobot tanpa sepengetahuan adat, dengan cara yang tidak benar dikategorikan sebagai persoalan Mafia Tanah.

TIM