Koreri.com, Merauke – Pada 12 Juli 2024, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Siti Nurbaya menerbitkan Surat Keputusan Nomor 835 Tahun 2024 tentang Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan untuk Kegiatan Pembangunan Sarana dan Prasarana Ketahanan Pangan dalam Rangka Pertahanan dan Keamanan Atas Nama Kementerian Pertahanan RI seluas 13.540 hektar pada Kawasan Hutan Lindung, Kawasan Hutan Produksi Tetap dan Kawasan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan, selanjutnya disebut SK KLHK 835.
Proyek Pembangunan Sarana dan Prasarana Ketahanan Pangan ini merupakan bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN) yakni Kawasan Pengembangan Pangan dan Energi Merauke untuk membuat cetak sawah 1 (satu) juta hektar.
Dalam proses pembangunan satu juta hektar lahan, diawali dengan pembangunan dermaga dan jalan usaha tani untuk memasukkan dan mendistribusikan alat pertanian maupun logistik pertanian.
Hal ini disampaikan Komandan Satgas Ketahanan Pangan Mabes TNI, Mayjen TNI Ahmad Rizal Ramdhani S.Sos., M.Han dalam Program Podcast RRI Merauke Edisi ke 9, pada 26 Agustus 2024 lalu.
“Kiri dan kanan jalan ada parit besar yaitu parit primer untuk mendorong mengairi sawah yang ada di kiri kanan jalan,” ungkap Mayjen TNI Ahmad.
Terkait dengan itu, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat (PUSAKA) telah melakukan analisis tumpang susun peta lampiran SK KLHK 835, peta kawasan hutan, peta administrasi dan peta tempat penting masyarakat adat di Merauke (WWF, 2006), serta laporan warga, hasilnya bahwa keberadaan lokasi pembangunan dimaksud berada pada kawasan hutan adat dan terdapat tempat-tempat penting yang bernilai konservasi tinggi, seperti tempat keramat dan jalur leluhur, dusun pangan, tempat berburu dan areal konservasi tradisional, yang berada di Distrik Ilwayab, Ngguti, Kaptel dan Muting, Kabupaten Merauke.
Perwakilan marga pemilik tanah di Distrik Ilwayab, Marga Gebze Moyuend dan Gebze Dinaulik menginformasikan bahwa tanah, dusun dan hutan adat, sumber kehidupan mereka telah digusur oleh perusahaan dan dikawal anggota TNI bersenjata, yang dilakukan tanpa ada musyawarah dan mufakat dengan masyarakat adat setempat.
“Proyek ini melanggar hak hidup, hak masyarakat adat dan merusak lingkungan hidup sebagaimana terkandung dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan, serta prinsip FPIC (Free Prior Informed Consent). Bahwa sebelum proyek dimulai, maka terlebih dahulu masyarakat diberikan dan mendapat informasi proyek pembangunan yang akan berlangsung di wilayah adat mereka, serta diberikan kebebasan berunding membuat keputusan apakah menerima atau justru menolak proyek. Hal ini tidak dilakukan pemerintah, pengembang proyek dan perusahaan,” beber Franky Samperante, Direktur PUSAKA.
Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Nomor 7 Tahun 2021 tentang tentang Perencanaan Kehutanan, Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan serta Penggunaan Kawasan Hutan, Pasal 379, bahwa persyaratan Permohonan Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan berupa (a) persyaratan administrasi, berupa Pernyataan Komitmen, Pakta Integritas, Profil Badan Usaha atau Badan Hukum; dan (b) persyaratan teknis.
Persyaratan Komitmen dimaksud antara lain: menyelesaikan Tata Batas areal Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan dan menyampaikan dokumen lingkungan dan Persetujuan Lingkungan bagi usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki AMDAL atau UKLUPL (lihat Pasal 380 huruf f, PermenLHK No.7 Tahun 2021).
“Kami menduga proyek PSN Merauke cetak sawah baru satu juta hektar dan pembangunan sarana dan prasarana ketahanan pangan belum memiliki dokumen lingkungan dan persetujuan lingkungan. Masyarakat terdampak langsung maupun organisasi lingkungan hidup tidak dilibatkan sejak awal pembahasan kerangka acuan dan penilaian Amdal dan belum mendapatkan informasi dokumen lingkungan”, jelas Franky Samperante.
Partisipasi masyarakat secara bermakna sangat diperlukan dan sejalan dengan prinsip Negara demokrasi, sehingga gagasan pembentukan dan pengawasan pelaksanaan peraturan perundang-undangan dan keputusan negara tentang program pembangunan, tidak harus selalu ditentukan dan muncul dari pemegang kekuasaan saja, melainkan juga melibatkan rakyat.
Pelibatan masyarakat dan organisasi lingkungan dalam Pasal 27 dan 28 PP RI Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Penanggung jawab proyek cetak sawah baru satu juta hektar, Kementerian Pertahanan dan Kementerian Pertanian, maupun perusahaan Jhonlin Group, harus menghormati dan melindungi hak masyarakat adat dan keberlangsungan lingkungan hidup. Pengabaian terhadap hak masyarakat adat dan lingkungan hidup akan menimbulkan dan memperburuk permasalahan sosial, ekonomi dan ekologi.
SK KLHK 835 menunjukkan lokasi pembangunan dimaksud terindikasi berada pada areal PIPPIB (Peta Indikatif Penghentian Pemberian Perizinan Berusaha) pada Hutan Alam dan Lahan Gambut seluas 858 hektar.
Proyek PSN Merauke cetak sawah baru satu juta hektar akan merusak dan menghilangkan kawasan hutan alam dan lahan gambut dalam skala luas, sehingga dapat meningkatkan krisis lingkungan.
Hal ini tidak sejalan dengan komitmen pemerintah untuk menurunkan emisi gas rumah kaca.
“Kami mendesak Presiden dan Kementerian terkait Proyek PSN Merauke cetak sawah baru, segera mengevaluasi dan menghentikan proyek cetak sawah baru satu juta hektar Merauke dan aktivitas pembangunan pendukung. Lakukan langkah-langkah efektif, berkonsultasi dan bermusyawarah dengan masyarakat adat setempat untuk pembangunan pangan dan energi yang inklusif, adil dan damai, mengutamakan kepentingan dan keberlanjutan hidup masyarakat adat setempat dan keberlanjutan lingkungan hidup, sesuai dengan prinsip pembangunan berkelanjutan, tidak ada seorangpun yang tertinggal”, desak Franky Samperante.
RLS