Ahli : Kasus Pesawat-Helikopter Pemkab Mimika Masuk Ranah Perdata

IMG 20230810 WA0011
Ahli Hukum Pidana yang dihadirkan Tim Kuasa Hukum yaitu Prof. Dr. Mompang L. Panggabean, S.H., M.Hum saat memberikan keterangan dalam sidang lanjutan kasus dugaan korupsi pengadan pesawat Cessna Grand Caravan C 208 B EX dan Helikopter Airbus H 125 milik Pemkab Mimika kembali digelar di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Klas IA Jayapura, Papua, Selasa (8/8/2023) / Foto : EHO

as

Koreri.com, Jayapura – Sidang lanjutan kasus dugaan korupsi pengadaan pesawat Cessna Grand Caravan C 208 B EX dan Helikopter Airbus H 125 milik Pemkab Mimika kembali digelar di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Klas IA Jayapura, Papua, Selasa (8/8/2023).

Sidang dengan agenda pemeriksaan saksi fakta dan mendengar pendapat ahli hukum pidana dipimpin Hakim Ketua Thobias Benggian, SH, didampingi Hakim Anggota Linn Carol Hamadi, SH dan Andi Asmuruf, SH, MH dimulai pukul 10.45 WIT.

Kedua saksi dihadirkan tim kuasa hukum untuk memberikan keterangan yang meringankan terdakwa Johannes Rettob dan Silvi Herawaty.

Kedua terdakwa juga hadir mengikuti sidang didampingi tim kuasa hukum diantaranya, Juhari, Iwan Niode, Emelia Lawalata, Imanuel Barru dan Robert Teppy.

Sementara tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang mengikuti sidang masing-masing Raymond Bierre, Hendro Wasisto, Yeyen Erwino, dan Viko Purnama.
Ahli Hukum Pidana yang dihadirkan Tim Kuasa Hukum yaitu Prof. Dr. Mompang L. Panggabean, S.H., M.Hum.

JPU Raymond Biere diberikan kesempatan oleh Hakim untuk meminta keterangan kepada Ahli.

“Saudara ahli, dalam CV ada buku yang dibuat terkait penelitian. Adakah buku atau penelitian yang difokuskan pada tindak pidana korupsi?” tanya JPU Raymond.

“Ya, saya pernah menulis juga mengenai tindak pidana korupsi khususnya terkait perkembangan kebijakan kriminal dalam tindak pidana korupsi di Indonesia,” jawab Ahli.

“Kebijakan kriminal terkait apa itu, bisa ahli jelaskan?” tanya JPU Raymond.

“Ya, kalau bicara kebijakan kriminal, intinya adalah perkenaan dengan politik hukum pidana sejak jaman dimulainya ketentuan tentang kejahatan jabatan di dalam KUHP sampai dengan lahirnya Undang-undang 31 Tahun 99 junto 20 Tahun 2001,” jawab Ahli.

“Ahli tadi telah menjelaskan bahwa jika BPK telah men-declare kerugian keuangan Negara, kemudian suatu instansi lain yang menghitung kerugian negara atau kantor akuntan publik, apakah itu kesalahan menurut ahli?” tanya JPU Raymond.

“Ya, saya tidak mengatakan itu salah atau tidak tetapi saya mengatakan bahwa tindakan itu bertentangan dengan ketentuan yang sudah diatur dalam Undang-undang BPK karena Undang-undang BPK sudah mengatakan bahwa hanya BPK yang men-declare kerugian Negara,” jawab Ahli tegas.

“Tadi ahli juga menceritakan bahwa BPK ada menemukan dan men-declare adanya kerugian keuangan negara namun ternyata tidak diindahkan oleh KPK dalam kasus Ahok. Dalam hal ini, apakah KPK juga menyalahi Undang-undang BPK?” tanya JPU Raymond.

“Baik, Majelis Hakim yang mulia, lagi-lagi kembali kepada politik hukum. Saya katakan bahwa pemberantasan tindak pidana korupsi belum bisa sepenuhnya kita katakan berjalan dengan baik karena masih adanya aturan satu dan yang lain belum ada sinkronisasi,” jelas Ahli.

“Saya tadi contohkan tentang Undang-undang 30 Tahun 2014 bahwa di situ sudah jelas dalam hal-hal tertentu perbuatan administrasi tidak bisa dibawa begitu saja ke ranah pidana namun dalam faktanya seringkali terjadi kepentingan antara Jaksa Penuntut Umum dan pelaku bahwa ada hal-hal yang semestinya ranah administrasi yang masih bisa diselesaikan secara administrasi tapi kemudian sudah dibawa ke ranah pidana,” tegas Ahli menambahkan.

“Secara eksplisit Apakah KPK menyalahi aturan BPK tadi?” tanya JPU Raymond.

“Ya, kalau kita lihat dari sudut kepastian hukum jelas sudah menyalahi aturan BPK,” tegas Ahli.
“Selanjutnya, sifat melawan hukum dalam tindak pidana korupsi bisa saudara ahli berikan contoh? Apa sih biasanya sifat melawan hukum dalam tindak pidana korupsi,” tanya JPU Raymond.

“Iya baik, Majelis yang mulia, tadi sudah saya jelaskan bahwa ini kembali kepada Keputusan MK tadi tentang bagaimana sifat melawan hukum dinyatakan. Sifat melawan hukum formil tidak lagi sifat melawan hukum materiil yang sebelumnya dianut dalam Pasal 2 Ayat 1 Undang-undang 31 Tahun 1999 baik dalam penjelasan pasal tersebut. Tetapi sudah beralih kepada sifat melawan hukum formil sehingga alasan-alasan untuk meniadakan sifat melawan hukum harus menurut Undang-undang atau ketentuan tertulis,” jawab Ahli.

“Harus menurut Undang-undang atau ketentuan tertulis. Apa yang biasa hilang tindak pidana korupsi Apakah Ahli mengetahui?” tanya JPU Raymond.

“Ya, tentunya secara umum pertama-tama tindak pidana korupsi itu sendiri artinya pemenuhan unsur-unsur tindak pidana itu dikaitkan kepada pasal-pasal dalam Undang-undang 31 Tahun 1999 junto UU Nomor 20 Tahun 2001 tetapi juga kita lihat dalam ketentuan-ketentuan lain yang menegaskan bahwa perbuatan-perbuatan yang bersifat melawan hukum dalam ketentuan itu bisa juga dijadikan sebagai tindak pidana korupsi,” terang Ahli.

“Tetapi kita lihat di sini juga harus ada suatu konsistensi pemikiran untuk dapat mengatakan apakah ini sudah masuk ke tindak pidana korupsi atau tidak, harus kembali lagi ke sifat melawan hukum formil yang dikatakan dalam putusan MK tadi,” sambung Ahli .

“Kemudian terkait ahli menjelaskan bahwa dalam perbuatan perdata tidak bisa dipidana atau bagaimana?” tanya JPU Raymond.

“Baik, tadi saya sudah singgung bahwa kaitan dengan pertanyaan penasehat hukum ketika ada suatu perbuatan yang merupakan suatu perbuatan pidana tidak begitu saja diseret ke pidana. Contoh, Pasal 378 KUHP bahwa sekalipun ada penipuan di dalamnya tetapi ketika dibuktikan di sidang pengadilan bahwa penipuan itu terjadi karena penipuan menurut hukum perdata bukan menurut hukum pidana maka demikian ini masuk dalam ranah perdata,” jawab Ahli.

“Lain hal dengan jika ditemukan penipuan tersebut adalah sebagaimana yang dimaksud Pasal 378 KUHP sehingga di situlah tadi saya katakan bahwa ketika penipuan itu terjadi sebelum perjanjian dibuat itu maka itu masuk tindak pidana,” sambung Ahli.

“Tadi dalam pembuktian tindak pidana korupsi, hasil penghitungan kerugian keuangan negara tadi, ahli juga menceritakan tentang putusan MK. Walaupun ada BPKP, KPK dalam pembuktian penghitungan dari BPK. Selain BPKB dan KPK itu digunakan untuk apa?” tanya JPU Raymond.

“Baik, Majelis yang mulia, tentunya ini pertama-tama digunakan untuk menilai bahwa kegiatan itu secara nyata sudah ada. Artinya unsur tindakan yang bersifat melawan hukum bisa dibuktikan dengan adanya penghitungan angka yang sifatnya aktual lost. Jadi bukan sesuatu yang direkayasa bukan sesuatu yang masih diduga-duga dan atau sesuatu yang bisa naik turun dalam perhitungan persidangan. Tetapi misalnya betul-betul penghitungan itu kurang kaitanya dengan unsur sifat melawan hukum perdata yang diduga dilakukan oleh pelaku,” terang Ahli.

“Kemudian dituangkan dalam laporan dalam pembuktian tindak pidana apakah itu merupakan alat bukti?” tanya JPU Raymond.

“Majelis yang mulia, kita kembali ke Pasal 1 KUHAP bahwa alat bukti termasuk keterangan ahli kemudian alat bukti surat. Tinggal bagaimana majelis hakim yang menilai bagaimanakah posisi alat bukti yang diajukan tersebut, apakah keterangan ahli atau bukti surat di persidangan,” jawab Ahli.

“Untuk membuktikan suatu nilai yang merugikan keuangan negara, apakah dalam berkas perkara atau dalam proses persidangan?” kembali tanya JPU Raymond.

“Ya, menurut hemat saya Majelis yang mulia, itu harus dituangkan dalam dakwaan jelas bahwa ketika dakwaan itu sudah disusun tentunya Jaksa Penuntut Umum sudah mempunyai satu keyakinan apa yang dituduhkan terhadap seseorang tadi sehingga tidak lagi melemparkan begitu saja kepada majelis hakim untuk menjadikan itu sebagai beban pembuktian kepada majelis hakim,” jawab Ahli.

“Karena kita mengetahui beban pembuktian itu di pundak Jaksa Penuntut umum meski kita tahu bahwa dalam UU Tindak Pidana Korupsi dimungkinkan beban pembuktian terbalik. Meskipun beban pembuktian terbalik terbatas dan seimbang artinya tidak bersifat mutlak tetap beban pembuktian itu ada di pundak Jaksa Penuntut Umum sehingga kembali kepada asas-asas hukum acara pidana kita. Jelas bahwa semuanya itu sepatutnya dituangkan dalam dakwaan sehingga jelas unsur-unsur pidananya sehingga dibuktikan dalam persidangan dengan menghadirkan alat-alat bukti yang lain,” jawab Ahli tegas.

“Terima kasih ahli atas penjelasannya, cukup yang mulia,” tutup JPU Raymond.

EHO

as