Koreri.com, Jayapura – Forum Pemilik Hak Sulung (FPHS) tiga kampung Tsinga, Waa dan Arwanop (Tsingwsarop) di areal tambang Freeport Indonesia mendatangi kantor Gubernur Papua, Senin (3/8/2020).
Mereka meminta perlindungan hukum yang mengikat jelas tentang hak kepemilikan tanah di lokasi tambang Tembagapura, Kabupaten Mimika.
Sekretaris I FPHS Tsingwarop, Johanis Songgonau, mengatakan pihaknya bukan mencari uang atau proyek semata, namun perlu ada satu aturan yang mengikat jelas tentang hak kepemilikan tanah leluhur yang dikeruk sejak 53 tahun silam.
“Saat ini, kami tidak mau mimpi buruk lalu terjadi di atas tanah leluhur kami tanpa ada kejelasan perlindungan dan penghormatan terhadap tanah leluhur kami,” tegasnya usai pertemuan bersama Kepala Biro Pemprov Papua di Jayapura, Senin (3/8/2020).
Menurut Songgonau, FPHS Tsingwarop menyampaikan bahwa dalam perjuangan selama ini telah mengantongi semua pengakuan dari masyarakat adat akar rumput, Pemda Kabupaten Mimika, Provinsi Papua, Pemerintah Pusat bahkan dari Presiden RI.
Dengan demikian 4 persen saham hak kepemilikan tanah milik masyarakat tiga kampung harus diakomodir masuk dalam Perdasi Divestasi Papua Mandiri No.7 Tahun 2018.
“Kami sudah beberapa kali datang ke Provinsi Papua untuk melakukan komunikasi dengan membawa seluruh dokumen agar kami masyarakat pemilik hak kesulungan tanah adat (FPHS Tsingwarop) harus tercatat jelas dalam pasal Regulasi yang direvisi Pemprov Papua pada minggu ini. Sekali lagi, harus tercatat jelas,” tekannya.
Dijelaskan pula, dalam Pasal 15 tentang komposisi saham perusahaan diterapkan, Pemerintah Provinsi 30 persen, Pemerintah Kabupaten Mimika 30 persen dan pemilik hak ulayat areal tambang Freeport Indonesia (FPHS Tsingwarop) 40 persen dan masyarakat adat FPHS Tsingwarop yang sudah mendapat pengakuan secara hukum.
“Kami juga mengusulkan, satu Komisaris untuk menjadi perwakilan pemegang saham dalam Perdasi Divestasi Papua Mandiri yang sedang direvisi tersebut,” tegasnya.
FPHS menilai ada permainan Pemerintah Provinsi Papua dan Kabupaten Mimika sehingga harus dikawal sampai hak 4 persen kepemilikan hak tanah dicatat dalam Perdasi.
Ditegaskan pula, perlu dicatat dalam produk hukum daerah (Perdasi) agar hak hakiki masyarakat adat yang sudah terabaikan selama 53 tahun lama ini tidak terulang kembali pada generasi penerus.
“Kami sudah ketemu Kabiro Hukum Provinsi Papua dan menyerahkan aspirasi masyarakat FPHS Tsingwarop untuk segera masukkan dalam revisi Perdasi Divestasi Papua Mandiri,” sambungnya.
Songgonau mengaku pihaknya telah mendapat penjelasan dari Kabiro Hukum bahwa masyarakat adat sudah terakomodir dalam pasal lampiran penjelasan.
“Namun hal itu kami bantah dan menekankan bahwa harus tercatat jelas dalam pasal inti tersebut diatas,” kembali tegasnya.
Dikatakan, FPHS akan kembali lagi melakukan tekanan besar pada Kamis (6/8/2020), jika belum mendapat respon pasti dan jelas dari Pemprov Papua.
“Kami keluarga besar FPHS menyatakan sikap akan kawal mati sampai keinginan tanah leluhur kami tercatat jelas dalam regulasi ini. Sehingga kami juga bisa jadi tuan di negeri sendiri jika ada pagar secara regulasi di atas tanah kekayaan kami,” cetusnya.
Secara logika, kata Songgonau, FPHS Tsingwarop adalah satu pemegang saham yang suaranya harus terakomodir dan juga menjadi penentu dalam kerangka perkembangan pengelolaan saham 10 persen kepada masyarakat Papua lewat Pemprov Provinsi Papua, sesuai kesepakatan Induk 15 Desember 2017.
Saat itu, ditanda tangani oleh Menteri Keuangan, Menteri ESDM, Gubernur Papua, dan Bupati Mimika yang didalamnya memuat tentang saham 10 persen diperuntukkan untuk Pemprov Papua, Kabupaten Mimika dan masyarakat adat pemilik hak ulayat areal tambang Freeport.
Dari kesepakatan induk ini, maka rincian dan penjabarannya harusnya sudah terurai secara rinci pada Perdasi No. 7 Divestasi Papua Mandiri tahun 2018 ini.
Pihaknya juga sudah meminta ke Kabiro Hukum agar diundang pada Rabu (5/8/2020) untuk menunjukkan Draft Perdasi yang dirubah atau disusun.
“Kalau hari Rabu belum ada info, kami akan kembali datangi kantor Gubernur dengan massa yang cukup besar untuk menanyakan tindak lanjut dari revisi Perdasi Disvestasi Papua Mandiri No.7 Tahun 2018,” tegasnya.
OZIE