Koreri.com, Jayapura – Forum Pemilik Hak Sulung (FPHS) Tsinga, Waa dan Aroanop (Tsingwarop) yang menjadi korban permanen area tambang PT Freeport Indonesia (PTFI) di Tembagapura menyoroti analisis dampak lingkungan (Amdal) perusahaan tambang tersebut.
Karena terhitung sejak 2020, FPHS Tsingwarop telah mengajukan surat ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) untuk tidak menerbitkan izin amdal PT Freeport Indonesia.
Sekretaris FPHS Tsingwarop Yohan Songgonau, dalam pernyataannya kepada Koreri.com, Minggu (9/10/2022) kemudian membeberkan sejumlah fakta terkait dugaan pihaknya terhadap penggunaan data fiktif dalam proses dikeluarkannya amdal dimaksud.
Fakta pertama yaitu berkaitan dengan status FPHS Tsingwarop, selaku masyarakat adat pemilik hak ulayat korban permanen area tambang PT. Freeport Indonesia.
Songgonau menjelaskan bahwa terkait proses izin Amdal tidak akan bisa berjalan karena FPHS Tsingwarop adalah pemilik hak ulayat yang punya dokumen identifikasi hak ulayat, dokumen hukum yang diakui masyarakat, lembaga adat yang masuk ke DPRP, MRP hingga ke beberapa kementerian terkait pemberian pengakuan kepada FPHS.
“Itu sudah memberikan satu dukungan kuat bahwa kita FPHS Tsingwarop adalah pemilik hak ulayat bahkan ada dukungan kuat dari lembaga Lemasa,” jelasnya.
Fakta kedua, FPHS Tsingwarop selaku masyarakat adat pemilik hak ulayat merupakan satu elemen kunci dalam proses persetujuan amdal PT. Freeport Indonesia bersama Pemerintah.
“Dan kami selaku pemilik hak ulayat tidak setuju dengan amdal tahun 2020. Sehingga kami minta itu direview kembali dan harus libatkan FPHS sehingga prosesnya bisa tetap berjalan. Tapi selama tidak melibatkan FPHS sebagai pemilik hak ulayat dalam pengurusan izin amdal maka itu melanggar regulasi atau ketentuan yang berlaku,” tegasnya seraya mengingatkan jika kondisi ini sama dengan duri dalam daging karena nantinya Freeport akan buat masalah besar suatu ketika.
“Jadi, dalam mengurus izin amdal selama ini mereka (PTFI) mengambil masyarakat Papua yang pro kepada mereka tanpa melibatkan masyarakat pemilik hak sulung korban permanen area Tambang Tembagapura,” bebernya.
Songgonau kemudian mengingatkan jika dalam kontrak karya, PT Freeport Indonesia boleh memakai gaya lama dengan mengambil orang di pinggir jalan untuk tandatangan rekomendasi lalu izin amdal terbit.
“Tapi kalau di IUPK tidak boleh lagi gunakan cara-cara ilegal tapi harus legal dengan melibatkan FPHS Tsingwarop selaku masyarakat pemilik hak ulayat. Supaya jangan suatu saat kita tanya, loh hak saya apa? Kok setelah ambil di lokasi ini terus konsekwensi ambil saya punya emas lalu merusak lingkungan, saya dapat apa? Maka PT Freeport wajib libatkan FPHS untuk izin amdal di daerah gunung,” tegasnya.
Fakta ketiga, pelanggaran terhadap regulasi UU Minerba Pasal 135 dan 136 serta Peraturan Menteri KLHK.
Terkait hal ini, Songgonau kemudian menyebut salah satu poin krusial dalam ketentuan itu.
“Kami masyarakat pemilik hak ulayat korban permanen area tambang Tembagapura tidak dilibatkan dalam analisa dampak lingkungan padahal itu diatur dalam UU Minerba Pasal 135 dan 136 serta Peraturan Menteri LHK bahwa masyarakat adat pemilik hak ulayat yang berdomisili di sekitar areal tambang harus terlibat dan menentukan tentang analisa dampak lingkungan ini layak atau tidak,” bebernya.
Kemudian, apa konsekwensi dari sebuah perusahaan kepada masyarakat itu baik dampak maupun manfaatnya. Bagian itu harus dibicarakan secara baik kepada masyarakat pemilik hak ulayat korban permanen di area tambang PT Freeport Indonesia, bukan orang Papua yang bukan pemilik hak ulayat sebenarnya.
Karena orang-orang yang mengaku pemilik hak ulayat ini dipakai oleh PT Freeport Indonesia untuk meloloskan kegiatan ilegalnya.
“Ini yang kita minta bahwa jangan sampai Tony Wenas itu menyampaikan hal-hal yang kemudian tidak bisa dapat dipertanggungjawabkan. Dia harus bentuk satu tim independent lagi untuk meneliti apakah amdal atau presentase itu benar? Sekarang sudah dapat kritikan,” bebernya.
Olehnya itu, sekali lagi FPHS Tsingwarop, lanjut Songgonau, membantah dengan keras presentase yang disampaikan oleh Tony Wenas maupun Richard C. Adkerson.
“Itu tidak benar, karena untuk analisa dampak lingkungan yang berkaitan masalah tailling PT Freeport Indonesia telah menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan yang cukup parah hingga menyebabkan kematian. Jadi kita sudah sampaikan pesan kepada ibu Menteri KLHK, jangan coba-coba memproses izin amdal PT. Freeport Indonesia. Kita punya surat untuk tidak menerbitkan izin amdal sudah masuk Kementerian KLHK pada 2020 lalu,” tegasnya lagi.
Fakta keempat, adanya dugaan “main mata” antara PTFI dan Kementerian LHK
Songgonau kembali menegaskan pula bahwa apa yang disampaikan oleh Tony Wenas di hadapan publik, DPR RI dan juga Richard Adkerson tidak benar dan tidak lengkap karena tidak menggandeng FPHS Tsingwarop, selaku masyarakat adat korban permanen areal Tambang Tembagapura.
“Dalam setiap proses, PT Freeport Indonesia tidak pernah melibatkan FPHS Tsingwarop maka apa yang disampaikan Tony Wenas itu ilegal dan tidak boleh mendapatkan izin sebagai lisensi untuk kepentingan internasionalisasi perusahaan tersebut,” tegasnya.
Songgonau menambahkan pula, bahwa sesuai dengan presentase yang disampaikan DPR bahwa ada “main mata” antara PTFI dan Menteri LHK.
“Kami minta ibu menteri dan jajarannya jangan “main mata” karena kita masyarakat adat pemilik hak ulayat menyoroti hal itu sehingga ibu menteri jangan coba-coba,” pesannya mengingatkan.
Intinya, tekan Songgonau, Menteri LHK harus menolak izin amdal yang diajukan PTFI karena tidak melibatkan pemilik hak ulayat.
“Harus dingat bahwa ada tiga element penting yang harus dipertimbangankan adalah pemerintah sebagai regulator, perusahaan sebagai investor dan masyarakat adat sebagai pemilik hak ulayat itu. Ini menjadi satu element penting dalam transaksi bisnis PT Freeport Indonesia. Jika regulasi ini tidak ditaati baik maka terindikasi ada kongkalikong atau main mata antara PTFI dan Menteri LHK untuk merampok daerah pemilik hak ulayat,” tekannya.
“Jadi pada intinya, kami FPHS menyoroti masalah amdal PTFI tahun 2020 bahwa apa yang dipresentasikan President Direktur PT. Freeport Indonesia itu kami bantah karena itu adalah data fiktif dan bohong yang tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan,” pungkasnya.
EHO