Koreri.com, Jayapura – Kuasa hukum Forum Pemilik Hak Sulung (FPHS) Tsingwarop, Haris Azhar, SH, MA mengatakan ada persekongkolan antara Bupati dan DPRD Kabupaten Mimika untuk mensahkan Peraturan Daerah (Perda) tentang pembagian saham 4 persen milik masyarakat adat korban permanen.
Menurutnya, Perda yang disahkan DPRD Mimika mengandung prosedur yang koruptif, jika benar ternyata 4 persen itu diberikan kepada perusahaan yang tidak legitimate dan tidak tepat ini potensi pada penyalahgunaan pendapatan negara yang harusnya buat masyarakat.
“Itu bisa dibilang Perda saham divestasi ini Perda persekongkolan untuk korupsi. Persekongkolan antara Bupati dengan DPRD untuk menggelapkan uang masyarakat,” tegas Haris Azhar kepada wartawan di Kota Jayapura, Minggu (18/10/2020).
Dikatakan, Perda yang disahkan itu secara hukum terburu-buru dan tidak mengikuti tata tertib pembentukan aturan daerah, dimana harus konsultasi dan merujuk pada peraturan yang di atas.
“Jadi, Perda yang kemarin disahkan itu dia tidak mengikuti Perda di tingkat Provinsi dan konteksnya. Peraturan tingkat Provinsi mau direvisi dan di Perda itu juga mengatakan dari kesepakatan divestasi itu bahwa harus ada sejumlah saham kepada masyarakat adat yang terkena dampak permanen secara langsung,” bebernya.
Seharusnya di tingkat Kabupaten, Perdanya spesifik bicara soal siapa masyarakat adat yang terkena dampak permanen.
“Tadi saya sampaikan ke sejumlah anggota DPRD Mimika, kami sampaikan protes kenapa Perda tentang pembagian saham itu tanpa kehati-hatian dan merujuk pada hal-hal yang patut diperhitungkan? Paling tidak ada beberapa alasan,” kata Haris Azhar usai rapat bersama beberapa anggota DPRD Mimika.
Dikatakan, Perda itu justru berbelok menunjuk perusahaan yang tidak diketahui kapasitasnya seperti apa? Perusahaan yang disebut dalam perda DPRD Kabupaten Mimika itu punya kemampuan atau tidak? Lalu namanya penikmat keuntungannya itu siapa? Karena tidak jelas dalam Perdanya.
“Kalau dilihat dari poin itu, seharusnya perda itu menyebutkan warga Tsingwarop itu yang punya hak terima saham divestasi 4 persen. Harus sebut di dalam peraturan itu,” tegasnya.
Kenapa sampai tidak tahu? Karena dari perda DPRD Kabupaten, tidak dibuat sesuai tata cara pembentukan peraturan daerah. Dan seharusnya konsultasi lalu mengujinya dan harus bertemu masyarakat Tsingwarop ini.
“Tapi karena semua itu tidak dilakukan, langsung by pass saja, akhirnya banyak hal yang melemahkan. Jujur saja saya sebagai kuasa hukum masyarakat Tsingwarop kami sedang mengincar Perda tentang saham 4 persen ini,” sambungnya.
Lanjut Haris, jika DPRD dan Pemkab Mimika tidak merevisi perda itu, karena pihaknya punya semua argumentasinya maka mau tidak mau ini negara hukum.
“Kita akan tempuh upaya lain yang berdampak pada pembatalan. Kalau ada potensi korupsi atau pidana, kita tetap proses. Saya mohon maaf karena ini saya bela rakyat. Kalau ada orang-orang berkuasa terus menggunakan kekuasan untuk menggelapkan potensi penerimaan negara untuk masyarakat ini, harus di hukum,” tegasnya.
Haris menambahkan, perda ini harus dibatalkan dan pihaknya menunggu petunjuk dari Pemerintah Provinsi Papua karena perda tahun 2018 sedang di revisi. Karena aturannya, tunggu itu keluar dulu baru ditindaklanjuti di tingkat Kabupaten.
“Jadi, sadarlah Pemkab dan DPRD Mimika segera membatalkan perda tersebut. Nanti ada waktunya secara lebih baik, beradab untuk membuat perda yang memang spesifik untuk masyarakat adat yang terkena dampak secara permanen,” jelas Azhar.
Ia mengaku merasa aneh dengan langkah sepihak Pemkab dan DPRD Mimika.
“Provinsi masih revisi Perda sementara DPRD Kabupaten Mimika sudah sahkan perda tanpa konsultasi ke tingkat atas,” tutupnya.
SEO