as
as
as
Opini  

Jangan Menutup Mata Pada Kata “Khusus”

jubir Gub Papua Muhammad Rifai Darus
Juru bicara Gubernur Papua, Muhammad Rifai Darus

Koreri.com – Pada 2017 lalu, terdapat aksi besar yang terjadi di Spanyol.

Wilayah otonom Catalunya menggelar referendum dan hasilnya pun cukup mengejutkan, dimana 90 persen dari 2,26 juta warga yang memberikan hak pilihnya memilih untuk memerdekakan diri.

as

Namun, pemerintah pusat saat itu tidak tinggal diam dan melakukan sejumlah langkah agresif untuk menahan lepasnya Catalunya dari Spanyol.

Singkat cerita, kemerdekaan Catalunya yang hendak menjadi sebuah republik yang berdaulat harus kandas.

Dengan dipecatnya sejumlah pejabat Catalunya yang dianggap berlawanan dengan pemerintah pusat, maka referendum yang sebelumnya telah digelar itu hanya menjadi catatan sejarah yang pahit bagi Catalunya.

Seperti kita ketahui bersama, di negara Spanyol juga terdapat daerah yang memiliki otonomi khusus.

Dari 50 provinsi yang ada di negara tersebut, setidaknya terdapat 17 provinsi yang merupakan wilayah otonomi, dimana Catalunya dan Basque termasuk didalamnya.

Namun, dalam penelusuran yang saya lakukan, status otonomi yang sebelumnya diberikan pada Catalunya telah dicabut oleh pemerintah pusat Spanyol pada Oktober 2017.

Namun, tulisan ini tidaklah memiliki tendensi yang buruk. Saya hanya ingin kita semua melakukan refleksi lebih dalam, untuk memahami kata “khusus” yang menempel erat pada Otonomi.

Otonomi khusus dalam hukum internasional sebenarnya telah diakui sejak lama, dimana pemberian status tersebut dianggap sebagai bentuk penghormatan terhadap perlindungan dari suatu kelompok bangsa atau etnis untuk mempertahankan identitas aslinya.

Hal tersebut juga dapat dianggap sebagai sebuah jalan tengah agar tidak tercipta disintegrasi dari suatu negara yang berdaulat, apalagi Indonesia yang memiliki konsep sebagai negara kesatuan.

Walaupun kita telah mengetahui bahwa tanah air ini memiliki banyak sekali suku yang harus dipersatukan, tentu bukan hal yang mudah bagi siapapun pemimpinnya untuk selalu merekatkan luasnya dan besarnya bangsa kita ini.

Tapi saya selalu percaya, bahwa selalu ada pemimpin yang mampu berdiri tegak dan bersuara lantang untuk memberikan kenyamanan bagi wilayah-wilayah otonomi khusus di Indonesia.

Jika pemimpin itu mampu mewujudkan kenyamanan terhadap wilayah otsus tersebut, maka sudah dapat dipastikan akan lahirnya keamanan dan juga kesejahteraan perlahan akan menyusul.

Itu adalah rumus yang setidaknya saya pegang teguh sejak bertumbuh di salah satu wilayah otonomi khusus negara ini, yakni Papua.

Kenyamanan, keamanan lalu kesejahteraan. 3 proses tersebut harus dilalui untuk mencapai cita-cita kesamarataan wilayah timur dan barat Nusantara ini. 3 proses itu juga tidak elok apabila dilakukan secara terbalik ataupun menukarnya.

Kenyamanan yang saya maksud adalah terciptanya ruang kebebasan yang cukup dan kedaulatan yang orisinil bagi Papua untuk menentukan langkah kebijakannya sendiri dengan tetap berpedoman pada konstitusi NKRI.

Pada tanggal 19 Oktober 1999, MPR RI yang diketuai oleh Amien Rais menandatangani Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis[1]Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004.

Pada saat itu, saya cukup sumringah atas hasil pemikiran para anggota MPR yang berhasil mengeluarkan ketetapan tersebut.

Dalam Tap MPR tersebut, terdapat sejumlah poin penting arah kebijakan yang salah satunya mengenai “Pembangunan Daerah” yang termaktub secara rinci pada arah kebijakan huruf G.

Dalam poin pembangunan daerah tersebut, MPR membaginya menjadi 2 bagian yakni pembangunan daerah yang bersifat umum dan khusus.

Pada bagian khusus, terdapat 3 provinsi yang disebutkan dalam Tap MPR tersebut yakni Daerah Istimewa Aceh, Irian Jaya (sekarang disebut Papua) dan Maluku.

Dengan demikian, saya ingin mengatakan bahwa reformasi 1998 yang telah berumur lebih dari 20 tahun itu mengkehendaki agar Papua dapat menjadi wilayah yang harus dihargai untuk mempertahankan integrasi bangsa dalam wadah NKRI.

Tap MPR Nomor IV/1999 tersebut bahkan secara eksplisit menyebutkan bahwa untuk menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan sosial budaya masyarakat Irian jaya (Papua) maka akan ditetapkan sebuah status yakni daerah otonomi khusus yang diatur oleh Undang-undang.

Kemudian pada tahun 2000, MPR kembali menerbitkan Tap MPR Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah.

Pada poin ketiga bagian rekomendasi, disebutkan bahwa sesuai amanat Tap MPR Nomor IV/MPR/1999 tentang GBHN 1999-2004, agar pemerintah dan DPR untuk segera membuat dan mengesahkan Undang-Undang tentang Otonomi Khusus bagi Aceh dan Irian Jaya (Papua)  selambat-lambatnya 1 Mei 2001 dengan memperhatikan aspirasi masyarakat daerah yang bersangkutan.

Dengan adanya frasa “memperhatikan aspirasi masyarakat daerah yang bersangkutan” itu membuat saya saat itu optimis bahwa proses integrasi bangsa di tanah Papua akan berjalan dengan baik.

Selang satu tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 21 November 2001 Presiden Megawati Soekarnoputri menandatangani Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.

Sejak saat itu, Papua menyandang status khusus untuk membangun daerahnya dan beserta seluruh manusia yang lahir, besar dan menetap di bumi Cenderawasih tersebut.

Tidak ada jalan yang mulus menuju sebuah kemajuan. Masih banyaknya kerikil kecil maupun batu besar kerap menghadirkan sejumlah diskusi yang ketat ihwal keberlangsungan otonomi khusus Papua ini.

Sejak UU Otsus Papua diundangkan, pemimpin nasional silih berganti, dan pendekatan yang dilakukan juga memiliki ciri khasnya masing-masing.

Hingga tibalah saat ini, dimana gencar sekali upaya untuk melakukan evaluasi terhadap Otsus Papua.

Tentu kami tidak menutup diri, bahkan apabila seluruh niat pemerintah pusat untuk membuat Papua ke arah yang lebih baik akan selalu kami terima dan dengarkan.

Namun saya juga menghimbau agar kita selalu berpedoman pada UU Otsus Papua yang telah dihasilkan dengan susah payah tersebut.

Bahwa pada Pasal 77 UU Otsus Papua dinyatakan “Usul perubahan atas Undang-undang ini dapat diajukan oleh rakyat Provinsi Papua melalui MRP dan DPRP kepada DPR atau Pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”

Untuk itu, saya berpesan kembali kepada seluruh stakeholder atau pemangku kebijakan di tingkat pusat dan daerah untuk berpegang teguh pada hukum positif yang ada.

Tidak ada ketentuan lain yang tertulis dalam UU tersebut, bahwa mekanisme yang telah disepakati ialah terlebih dahulu melalui MRP dan DPRP yang kemudian akan disampaikan kepada DPR maupun Pemerintah Pusat.

Terakhir, saya ingin kembali mengingatkan 3 proses yang sebelumnya telah saya sebutkan di atas. Bahwa untuk semakin mempertebal proses integrasi bangsa, utamanya menyoal kekhususan Papua maka sejatinya harus terlebih dahulu mewujudkan kenyamanan.

Berikan kenyamanan bagi pemangku kebijakan di tingkat lokal Papua untuk melakukan diskusi, identifikasi dan evaluasi terhadap Otsus yang sudah berlangsung selama 20 tahun ini.

Ada banyak aspirasi masyarakat Papua juga yang harus dijemput untuk dijadikan landasan seluruh strategi ke depan.

Apabila kenyamanan tersebut memang kami rasakan, maka suasana kondusif untuk melakukan diskusi di tingkat pusat juga pasti akan terwujud.

Lalu, kita akan bersama[1]sama kembali melangkah menuju cita-cita kesejahteraan tanah Papua yang hingga saat ini terus menerus dilakukan intensifikasi maupun ekstensifikasi terhadap hal itu, baik oleh pemerintah pusat, pemerintah provinsi maupun pemerintah daerah yang ada di Papua.

Salam, Wa Wa Wa !

as

as