Koreri.com – Goethe-Institut Indonesien, Thailand, dan Malaysia bersama-sama menyelenggarakan festival film daring bertajuk Darling, Berlin! Berlin, Sayang! Berlin, Teerak! yang akan berlangsung pada 6 -27 Desember 2020.
Festival ini menampilkan enam film independen yang segar dan menghibur dari ibu kota sekaligus pusat perfilman Jerman: Berlin.
Setiap film akan ditayangkan perdana di YouTube Darling Berlin sesuai jadwal yang bisa dilihat di laman Goethe-Institut Indonesien. Seluruh film dapat diakses gratis di kanal youtube.com/darlingberlin tanpa perlu registrasi terlebih dahulu.
“Darling Berlin menjanjikan film-film independen yang segar dan khas dari ibu kota Jerman. Generasi baru sutradara dan aktor watak muda Jerman memadukan kemampuan mereka dalam membuat film-film drama dan eksentrik dengan cermat dan selalu penuh semangat. Menyentuh, otentik, dan tidak ragu untuk menantang cara pandang yang telah mapan. Kami telah menyeleksi enam film paling menjanjikan untuk menghibur penikmat film di seluruh Indonesia, Thailand, dan Malaysia,” ujar Dr. Ingo Schöningh, Kepala Bagian Program Budaya di Goethe-Institut Indonesien mengutip siaran pers yang diterima Koreri.com, Sabtu (5/12/2020).
Darling, Berlin! Berlin, Sayang! Berlin, Teerak! akan dibuka dengan penayangan film Datsche – Blühende Landschaften (2018) pada 6 Desember.
Film komedi karya Lara Hewitt ini merupakan “Sinema besar di kebun kecil”.
Sebuah film untuk semua orang yang merindukan kampung halaman atau sudah menemukannya. Sebuah lagu cinta untuk Jerman dan untuk kekuatan yang terdapat dalam kebersamaan.
Festival ini akan dilanjutkan dengan pemutaran Schwimmen (2018) pada 8 Desember, Rakete Perelman (2017) pada 10 Desember, Lotte (2016) pada 13 Desember, Rückenwind von vorn (2018) pada 16 Desember, dan Luca tanzt leise (2016) pada 18 Desember.
Semua pemutaran perdana enam film di festival ini akan dimulai pukul 19:00 WIB. Setelah setiap pemutaran perdana, film-film tersebut akan dapat diakses secara bebas di YouTube Darling Berlin hingga 27 Desember 2020.
Film-film pada festival ini kebanyakan diproduksi oleh sutradara-sutradara muda yang belajar film dan bekerja di Berlin serta baru membuat film profesional pertama atau kedua.
Penonton akan melihat kegairahan dan keberanian untuk bereksperimen dengan cara tutur gambar yang tak kenal kompromi serta penampilan aktor-aktor watak non-selebritis yang unik.
Berlin sebagai latar belakang tempat dalam cerita-cerita ini juga menjadi istimewa karena tahun ini adalah peringatan 30 tahun penyatuan kembali kedua Jerman pada 3 Oktober 1990 yang prosesnya diawali dengan keruntuhan Tembok Berlin melalui revolusi damai pada 9 November 1989.
Film Datsche karya Lara Hewitt merupakan “sinema besar di kebun kecil”: Musim panas, sosis bakar, dan pintu pagar kebun yang terbuka—itulah beberapa hal yang membuat kita sadar bahwa lebih banyak yang menyatukan kita daripada yang memisahkan kita. Sebuah film untuk semua orang yang merindukan kampung halaman atau sudah menemukannya. Sebuah lagu cinta untuk Jerman dan untuk kekuatan yang terdapat dalam kebersamaan. Dan semua itu di dalam film karya perempuan kelahiran Inggris.
Schwimmen (2018) karya Luzie Loose | Jerman | 102 Menit | Drama
Schwimmen menceritakan kisah Elisa dan Anthea, dua anak perempuan berusia 15 tahun dengan persahabatan timpang yang memberi mereka pegangan dan orientasi pada sebuah tahap sulit dalam hidup mereka. Demi menjaga kekompakan mereka, keduanya menciptakan permainan berbahaya yang ditandai oleh dinamika destruktif: Elisa pernah jatuh pingsan dan teman-teman sekelasnya tanpa ampun merekamnya dengan ponsel mereka untuk mempermalukannya.
Bersama Anthea ia lalu membalik kamera untuk membalas dendam. Ia yang semula menjadi korban pun menjelma sebagai pelaku.
Rakete Perelman (2017) karya Oliver Alaluukas | Jerman | 97 Menit | Komedi, Drama
Bagaimana kita ingin hidup bersama? Di satu sudut antah berantah di Brandenburg, di antara padang rumput hijau, musik tekno dan teater, sepuluh orang menjawab pertanyaan ini dengan caranya sendiri. Di koloni seniman Rakete Perelman mereka menjalani versi kebebasan dan kemerdekaan – masing-masing untuk dirinya sendiri namun pada saat yang sama berlaku juga prinsip “satu untuk semua.”
Jen anggota baru Rakete Perelman. Di usia pertengahan dua puluhan, dia bergabung ke koloni itu setelah memutuskan untuk meninggalkan kehidupan lamanya di kota besar, di pusat industri yang telah membesarkannya. Ia ingin memasuki kehidupan baru. Tapi Rakete Perelman butuh uang dan solusinya – tentu saja, mau bagaimana lagi – hanya bisa mereka usahakan melalui seni, lebih tepatnya melalui satu produksi teater terbaru. Jen mendapatkan peran utama dalam karya itu, satu karya yang perlahan-lahan menyamai bahkan mengambil alih kenyataan kehidupan para aktornya. Latihan dan kehidupan bersama terus berjalan, sampai pada titik tertentu menguji seluruh anggota koloni soal idealisme dan kesetiaan.
Lotte (2016) karya Julius Schultheiß | Jerman | 78 Menit | Drama
Lotte selalu berterus terang dan tak sungkan bermulut tajam. Namun, pada saat yang sama ia sebetulnya juga orang yang ramah dan, yang terpenting, dia cerdik seperti halnya kebanyakan orang yang harus bertahan hidup di kota besar. Dengan semua karakteristik ini dia terus menerus menyinggung perasaan rekan kerja, teman-teman dan bahkan pacarnya. Sang pacar mengusir Lotte tanpa basa-basi.
Lotte pun tiba-tiba berdiri di jalan dan harus mencari tempat tinggal. Suatu malam Lotte bertemu Marcel, seorang teman yang hampir terlupakan, di pub lokalnya. Marcel hampir takmengenalinya lagi, tetapi begitu mereka bisa saling mengingat, Lotte langsung melarikan diri. Ia menemukan tempat yang aman untuk tinggal di apartemen temannya, Sabine. Keesokan harinya, Lotte masih belum terlepas dari ketegangan malam itu, termasuk ketika ia harus bekerja di rumah sakit. Seorang gadis muda masuk untuk menjalani perawatan. Lotte mendampinginya, kasih sayang yang halus pun berkembang.
Rückenwind von vorn (2018) karya Philipp Eichholtz | Jerman | 80 Menit | Drama
Apakah beranjak dewasa itu mudah, tetapi menjalani hidup sebagai orang dewasa itu sulit? Charlie perempuan muda yang tinggal di Berlin merasa kesulitan menyeimbangkan antara memenuhi harapan orang-orang di sekitarnya dengan cita-citanya sendiri. Kekasihnya, Marco, ingin mereka segera memiliki anak, sementara koleganya Gerry berspekulasi tanpa ditanya: “Lima tahun bersama? Nah, pasti akan segera ada anggota keluarga ketiga?” Tetapi, Charlie sama sekali tidak yakin, apakah benar akan semenyenangkan itu hidup dengan memiliki anak? Atau apakah memiliki anak hanya akan menghilangkan dirinya sendiri karena dia harus mendahulukan semua kebutuhan si anak? Charlie merasa sudah cukup sibuk dengan pekerjaannya sebagai guru. Dia pun merasa hubungannya dengan Marco saat ini sering bergejolak. Dulu di awal hubungan mereka, semua rasanya sangat mudah dan spontan.
Luca tanzt leise (2016) karya Philipp Eichholtz | Jerman | 81 Menit | Drama, Komedi
Setelah tahun-tahun yang kelam mengalami depresi, Luca ingin mengulang ujian dan lulus dari sekolah menengah tinggi. Anjing kecilnya Mata membantunya menemukan motivasi dan semangat hidup. Agar tidak gagal cuma karena matematika, Luca membuat kesepakatan dengan Kurt, sesama peserta kursus persiapan: Luca akan mengajari Kurt bahasa Inggris, sementara Kurt membalasnya dengan menjadi guru matematika. Kurt menjadi teman yang dapat diandalkan, bahkan ketika keadaan menjadi sangat buruk bagi Luca. Kapan kita bisa dikatakan telah benar-benar menjalani “hidup”? Jika kita menguasai matematika dan punya ijazah ujian tertentu? Atau jika kita dapat memutuskan saat yang tepat untuk memperoleh surat izin dokter, sehingga boleh menjalani ujian susulan dengan alasan sakit? Atau ketika kita bisa menemukan pasangan yang tepat, yang mencintai dan menginginkan kita apa adanya, dan bukan bajingan?
VLJ