Koreri.com, Sorong – Komite II Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) mendorong Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan harus direvisi karena tidak relevan lagi dengan kondisi yang terjadi di daerah.
Alasan Tim Komite II DPD RI mendorong direvisinya UU Kehutanan tersebut setelah belanja sejumlah persoalan akibat dampak dari pengelolaan hutan di daerah ini yang tidak sesuai dengan regulasinya.
Sejumlah persoalan tentang hutan adat dan dampak lingkungan terungkap pada saat rapat Tim Komite II DPD RI bersama Pemerintah Provinsi Papua Barat dan lembaga vertikal di ruangan multimedia lantai 3 Kantor Gubenur, Arfai gunung, Kabupaten Manokwari, Kamis (8/5/2025).
Tim Senator yang dipimpin Wakil Ketua Komite II DPD RI Angelius Wake Kako, S.Pd., M.Si dan La Ode Umar Bonte, S.H., M.H mendengar sejumlah persoalan yang disampaikan Pemerintah Papua Barat dengan pimpinan lembaga vertikal secara baik.
Angelius Wake Kako dalam keterangan persnya menegaskan, pihaknya akan segera memanggil Kementrian ESDM untuk menyampaikan persoalan terkait dengan pertambangan di wilayah hutan adat Kabupaten Pegunungan Arfak.
“Kemudian terkait juga soal komunikasi lintas Kementerian yang memang belum clear,” tegasnya.
Senator asal Provinsi Nusa Tenggara Timur itu mencontohkan pembangunan yang dikerjakan Pemerintah pusat terhenti hanya karena lokasinya berada di kawasan konservasi, padahal sesungguhnya itu untuk kepentingan umum pembangunannya.
“Dan kadang lambannya rekomendasi karena syatatnya harus ada rekomendasi dari Balai Konservasi Kementerian Kehutanan,” bebernya.
Menurut Angelius, aspirasi yang disampaikan muara paling akhir adalah Undang-Undang kehutanan harus direvisi untuk kesejahteraan masyarakat, apalagi Provinsi Papua Barat daerah otonomi khusus.
“Undang-undang ini harus dievisi karena sudah cukup lama dari tahun 1999 dan sudah hampir 30 tahun. Jadi sudah layak untuk direvisi ulang karena sudah tidak sesuai dengan tuntutan jaman ini. Itu muara terakhir!” kembali tegasnya.
Angelius merincikan beberapa temuan masalah. Pertama, terkait Inharmonisasi lintas kementerian dalam kerja-kerja pembangunan seperti pembangunan jalan salah satunya. Kedua, adanya pertambangan ilegal di wilayah Pegunungan Arfak yang tentunya berdampak juga kepada kehutanan. Tiga, penguatan keterlibatan masyarakat adat belum nampak dan itu yang perlu didorong.
“Begitu pula UU Otsus perlu kita dorong untuk dipakai melakukan pendekatan. Karena pendekatan di Papua itu bukan dengan UU Pemerintah Daerah tetapi UU Otsus,” sambungnya.
Angelius memastikan adanya rekomendasi dari DPD RI soal rencana Revisi UU Nomor 41 Tahun 1999.
“Kami DPD berdiri di atas kepentingan daerah. Karena setelah UU ini direvisi melalui Cipta Kerja, banyak kewenangan daerah dilucuti dan kita ingin kembalikan kewenangan itu supaya provinsi maupun kabupaten/kota harus punya powerlah untuk menentukan,” kembali tegasnya.
“Mereka yang di daerah apapun masalah yang timbul seperti banjir dan lain-lainnya tukan daerah yang merasakan dampaknya, sedangkan pusat tidak tahu. Sementara kewenangan diambil oleh pusat. Jadi intinya ini menjadi atensi dari DPD,” imbuhnya.
Ditegaskannya bahwa, DPD RI hanya ingin mengembalikan kewenangan itu ke daerah, seraya mengingatkan pusat untuk tidak mengambil kewenangan itu sampai 100 persen.
“Inikan kita omong Otonomi Daerah tapi dalam tanda petik setengah hati. Padahal ini otonomi khusus. Jadi dari dari kekhususan itu, kasihkan kewenangan itu ke daerah karena dia yang tahu daerahnya dengan tetap ada batasan-batasan tertentulah,” pungkasnya.
Sementara itu Wakil Gubenur Papua Barat Mohammad Lakotani,S.H.,M.Si mengatakan, pemerintah lemah dalam menangani pengrusakan hutan akibat pertambangan ilegal di wilayah Provinsi ini.
“Pemerintah daerah tidak bisa buat apa apa, begitu juga dengan masyarakat adat hanya diam karena kewengan semuanya kewenangan di pusat,” pungkasnya.
Dalam kunjungan kerja ini, tim komite II DPD RI melakukan penanaman pohon mangrove di Kampung Wamesa, Maripi, Distrik Manokwari Selatan, Kabupaten Manokwari.
KENN