Koreri.com, Sentani – Sarasehan Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) VI di Kampung Homfolo, Distrik Ebungfauw, Kabupaten Jayapura Selasa (25/10/2022), berlangsung menarik.
Dengan tema yang diusung “Masyarakat Adat dan Transisi Energi Berkeadilan” membuat para peserta sarasehan memahami bagaimana peran mereka selaku masyarakat adat dalam program energi terbarukan yang dilakukan oleh Pemerintah.
Evolusi konsep transisi energi di ranah global dalam kerangka keadilan iklim dan upaya untuk menahan kenaikan rata-rata suhu dunia di bawah 1,5 derajat, serta prinsip-prinsip kesetaraan dan keadilan, mulai didorong oleh komunitas masyarakat adat global untuk memastikan terwujudnya “Just Energy Transition” atau Transisi Energi Berkeadilan.
Selain itu, sarasehan ini juga bertujuan untuk mengupas kerangka kebijakan transisi energi nasional serta menganalisis potensi friksi dan gesekan dengan hak masyarakat adat atas lahan dan penghidupan.
Harapannya, informasi dan analisis yang disampaikan dapat menjadi landasan advokasi masyarakat adat dalam konteks mendorong transisi energi berkeadilan, baik di tingkat nasional maupun di tingkat tapak atau lahan masyarakat adat.
Peserta pun sangat antusias disaat sesi diskusi, banyak hal yang disampaikan, mereka saling bertanya, memberikan masukan bahkan solusi, dari sekian banyak peserta yang hadir di hari pertama sarasehan tersebut mereka lebih condong kepada peran Pemerintah dalam mengakui keberadaan masyarakat adat, agar jangan ada pihak Investor yang dengan liciknya mempermainkan hak masyarakat adat.
Sebagai manusia tentunya membutuhkan energi, tetapi harus berkeadilan, apalagi kepada masyarakat pribumi atau masyarakat adat yang memiliki hak sesungguhnya pada lahan yang dibangun program energi terbarukan, ada dampak positif dan negatif, bagi masyarakat adat, mereka lebih cenderung mendapatkan hal negatif apalagi berhadapan dengan negara yang mempunyai kekuatan bersenjata lengkap dengan undang-undang yang sah di negara ini.
Hal tersebut dibenarkan oleh, Birry, dari ” Trend Asia” salah organisasi advokasi yang mengampanyekan energi bersih.
Bagi dia, solusinya adalah masyarakat adat harus bersama-sama bergerak mengawal perjuangan 12 tahun RUU Masyarakat Adat karena itulah fondasi yang kuat bagi perlindungan hak-hak masyarakat adat.
Supeno, salah satu peserta sarasehan KMAN VI asal Bromo, Tengger, Jawa Timur menyampaikan hal serupa, yaitu perlindungan hak atas tanah adat yang di kelola oleh investor dengan izin Pemerintah, namun merugikan masyarakat adat, seperti gunung Bromo yang merupakan tanah adat sebenarnya, dijadikan sebagai Taman Nasional oleh pemerintah.
Lanjut, Supeno pun berharap agar adanya Undang-undang Perlindungan Masyarakat Adat yang disahkan oleh negara.
Sehingga mereka mampu memperjuangkan hak adat mereka dengan hukum yang berlaku di negara ini.
RED/MC KMAN VI